Gaya Politik Saling Sindir yang Merusak Kualitas Demokrasi

ANTARAFOTO | Puspa Perwitasari
Prabowo Subianto dan Joko Widodo usai pengundian nomor urut pasangan capres dan cawapres 2019 di Komisi Pemilihan Umum.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
24/11/2018, 10.33 WIB

Dua bulan sudah tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 berjalan. Kedua kandidat, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus berkampanye meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka.

Masing-masing kandidat pun membentuk narasi politik mereka. Hanya saja, narasi tersebut hingga saat ini masih belum menampakkan substansi dari visi dan misi yang ditawarkan. Mereka justru cenderung menyajikan gaya politik saling sindir. Prabowo-Sandiaga misalnya kerap mengkritik pemerintah saat ini.

Di depan 3.000 relawannya yang berkumpul di Istora, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11), Prabowo menyebut elite politik saat ini kerap berbohong mengenai kondisi Indonesia. Elite politik sering menyebut bahwa penggangguran menurun, ekonomi baik, dan harga-harga bahan pokok cukup bagus. Padahal, hal tersebut tak sesuai kenyataan.

Ia  menilai, saat ini masih banyak masyarakat miskin di Indonesia. “Elite selalu bicara semua bagus, kalian yang tahu, kalian yang bisa jawab bagaimana penderitaan rakyat,” kata Prabowo.

Prabowo juga mengkritik pemerintahan Jokowi yang dianggapnya tak mampu membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Jika dianalogikan sebagai tubuh, Prabowo menyebut SDM Indonesia tak cukup mendapatkan protein.

Ia pun merasa prihatin dengan banyaknya meme di internet yang menyebutkan generasi muda Indonesia banyak menjadi tukang ojek setelah lulus dari SMA. Menurut Prabowo, ini realita yang terjadi di Indonesia karena rendahnya kualitas SDM Indonesia.

Sementara itu, Sandiaga sempat mengkritik Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 yang dirilis pemerintah. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini menilai paket regulasi tersebut merupakan bentuk kepanikan pemerintah atas kondisi ekonomi Indonesia.

Menurut dia, kondisi ekonomi yang buruk ditandai dari lemahnya ekspor industri dalam negeri. Apalagi, investasi di Indonesia sedang tidak baik. Diterbitkannya Paket Kebijakan Ekonomi ke-16, lanjutnya, justru membuat bingung banyak pihak. Sebab, formula baru itu banyak menghasilkan kesimpangsiuran.

Sandiaga pun mengkritik kebijakan impor pangan yang dilakukan pemerintahan Jokowi, padahal produksi pertanian melimpah. Tak hanya itu, Sandiaga sempat mengkritik soal harga-harga bahan pokok. Dia menganalogikan tempe setipis kartu ATM serupa kondisi perekonomian yang makin sulit.

Di kubu petahana, Jokowi sempat mengeluarkan pernyataan terkait politisi sontoloyo dan politik genderuwo. Kedua pernyataan tersebut dilontarkan Jokowi menyindir politisi yang berusaha memengaruhi masyarakat dengan isu tak jelas dan menakut-nakuti.

Jokowi juga menyindir pemimpin yang mengklaim diri tegas, padahal pemimpin tersebut kerap marah-marah. Menurut Jokowi, Indonesia butuh pemimpin yang mau mendengar rakyat sekaligus tegas. "Tapi tegas itu tidak sama dengan otoriter, jadi tolong dibedakan," ujar Jokowi.

Sindiran juga disampaikan oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf. Sekretaris TKN Jokowi-Ma'ruf Hasto Kristiyanto menyebut Prabowo sebagai sosok pemimpin yang ahistoris. Pasalnya, Prabowo menghormati keputusan Australia yang bakal memindahkan kedutaan besarnya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Padahal, konstitusi mengamanatkan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Lebih lanjut, pernyataan Prabowo juga dianggapnya tak sejalan dengan sikap Presiden Pertama RI Soekarno yang membela kemerdekaan Palestina.

Hasto pun menyindir Prabowo dengan menyatakan, pemimpin tidak boleh mencela dan merendahkan rakyatnya sendiri. Pasalnya, Prabowo pernah mengatakan para pendukungnya sebagai 'tampang Boyolali' yang tak bisa masuk hotel-hotel mahal.

Dia juga menilai pemimpin tak boleh menghina profesi tukang ojek sebagaimana dilakukan Prabowo. "Menjadi pemimpin itu harus menggelorakan martabat dan kehormatan rakyat apapun profesinya," kata Hasto.

Politik Olok-olok

Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai, saat ini terjadi gejala 'politik olok-olok' dari kedua kubu dalam Pilpres 2019. Hal ini terlihat dari lebih seringnya elite politik mengeksploitasi emosi massa ketimbang mengeksplorasi keunggulan tawaran program mereka.

Lebih lanjut, kritik disampaikan lewat pesan yang sumir dan multitafsir, tak berdasar, tanpa data akurat. "Sekadar untuk memukul lawan," kata Arif ketika dihubungi Katadata, Jumat (23/11).

Gaya politik ini terjadi karena para kandidat cenderung reaksioner dan kurang antisipatif terhadap masalah. Tim kampanye juga dianggap gagap menerjemahkan visi menjadi program yang lebih konkret.

Kemudian, minim terobosan untuk melakukan kampanye cerdas dan kreatif. Pembatasan KPU juga semakin mempersempit ruang kampanye para kandidat. Lebih lanjut, kondisi ini terjadi akibat politisasi SARA yang terus menjebak politik nasional dalam kebencian.

"Selain dibutuhkan aturan main kampanye yang lebih memadai, pasangan calon maupun tim kampanye harus mengembangkan komunikasi politik yang lebih cerdas dan kreatif, dengan tawaran program jelas dan berkontribusi bagi pencerdasan publik pemilih," kata Arif.

Politik olok-olok tidak akan efektif dalam menggaet pemilih yang saat ini semakin rasional. Lebih dari 40% pemilih pun termasuk golongan milenial. Mereka memiliki karakter yang egaliter, pluralis, kreatif, dan kritis.

Arif menilai gaya politik ini justru akan mendegradasi kualitas pemilu. Alhasil, politik seperti ini malah berpotensi memundurkan tataran demokrasi nasional. "Hal tersebut cenderung membodohi dan memecah-belah," kata Arif.