Kantong plastik tak selalu berujung menjadi sampah yang butuh ratusan tahun untuk diurai dalam tanah. Di tangan Deasy Esterina, kresek menjelma menjadi produk fesyen bergaya dan memiliki karakter.

Bukan daur ulang sampah (recycle) melainkan peningkatan nilai tambah dan kegunaan (upcycle), demikian kekuatan karakter jenama Kreskros. Merek ini berasal kata kresek dan crochet (salah satu teknik merajut).

"Ciri Kreskros memang rajutan. Materialnya saya ganti, bukan benang tapi plastik kresek. Ternyata (masalah sampah) plastik ini mendesak. Jadi, saya maksimalkan limbah kantong plastik menjadi barang bernilai jual tinggi," tutur Deasy kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu.

(Baca juga: Perempuan Dominasi Kepemilikan Usaha pada Ekonomi Kreatif)

Deasy mengaku, gagasan untuk menghadirkan produk fesyen dengan merek Kreskros diperoleh secara tidak sengaja. Sekitar setahun usai tamat kuliah, tepat pada Oktober 2014, ide membuat rajutan berbahan kantong plastik muncul untuk pertama kali.

Keterampilan merajut memang sejak lama dimiliki Deasy tetapi sebatas membentuk obyek persegi saja. Hasil rajutan ini dikembangkan menjadi produk fesyen berupa tas. Tidak seluruh bagiannya berupa rajutan melainkan dipadukan dengan bahan lain.

Deasy pertama kali menampilkan karyanya ke publik melalui suatu acara di Surabaya, Jawa Timur dan ternyata ludes dibeli pengunjung. Alhasil, perempuan asal Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah ini terpikir untuk lebih serius menggarap produk berbahan sampah plastik tersebut.

Bukan gencar memproduksi barang lebih banyak, dia justru mengambil jeda selama 1,5 tahun. "Tidak vakum sebetulnya, justru saya menggarap rencana bisnis lebih serius. Saya memutuskan bikin produk unisex dengan ciri khas warna monokrom," ujar Deasy.

(Baca juga: Sebelum Membuat Rencana Bisnis Pastikan Punya Tiga Hal Ini)

Setelah rencana bisnis digarap, dia selanjutnya bergerilya mencari sumber bahan baku, yakni kantong plastik. Berbekal sekitar Rp 10 juta, alokasi modal awal ini diprioritaskan untuk membeli peralatan termasuk mesin jahit dan bahan baku.

Sampah kantong plastik dibeli dari pengepul. Kebutuhan bahan baku bertambah secara bertahap hingga kini mencapai kisaran 150 kilogram per tiga bulan. Produksi Kreskros di Ambarawa sekarang melibatkan 13 pekerja terdiri dari perajut, perajin, dan administrasi.

Deasy mengakui bahwa produk handmade seperti Kreskros sukar dipaksa untuk mengejar kuantitas. "(Kuantitas) belum banyak sih, sekitar 50 unit produk yang rerata terjual (sebulan). Yang paling laku tas tote dan ada satu desain ransel," tuturnya.

Varian produk fesyen yang ditawarkan Kreskros tidak hanya tas tote dan ransel, ada pula tas genggam, kantong alat tulis, buku organizer, dan tas toiletries. Seluruhnya ditampilkan dalam warna monokrom karena dinilai modern, netral, dan elegan.

Pemasaran produk Kreskros seluruhnya memanfaatkan platform digital alias tidak ada toko offline. Laman web dan akun media sosial menjadi medium. Soal strategi marketing, jenama ini tak sekadar persuasi agar orang membeli.

"Kami memperbanyak edukasi untuk membangun kesadaran pemanfaatkan sampah (plastik). Kami juga kolaborasi, semisal dengan desainer atau dengan organisasi, atau Kreskros jadi suvenir kampanye (lingkungan)," kata Deasy.

(Baca juga: Bisnis Digital Indonesia: Pasar Besar, Minim Talenta

Ke depan, Kreskros tak sekadar memproduksi aksesori penunjang fesyen melainkan ingin menjadi studio desain. Rancangan lain yang dibidik adalah dekorasi hunian. Tidak hanya furnitur tetapi juga aneka aksesori rumah, seperti lampu tidur, sarung bantal, dan lain-lain.

Pasar yang diincar Kreskros terutama kota besar terutama DKI Jakarta. Produk fesyen ini sudah tampil di Jakarta Fashion Week pada pekan lalu. Tas buatan Kreskros disandingkan dengan busana dari label Kle.

Adapun sebagai pebisnis muda, Deasy menyatakan bahwa tantangan utama merintis usaha adalah semangat dan motivasi. "Ini sempat naik turun. Apalagi saya tinggal di Ambarawa, tak seperti kota besar yang semua orang punya proyek, visi, dan impian," tuturnya.