PT Pertamina (Persero) mengusulkan insentif terkait penerapan kebijakan pencampuran minyak sawit ke Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar sebesar 20% atau B20. Alasannya, ada beberapa biaya tambahan yang akan ditanggung dari perluasan kebijakan itu dari yang hanya BBM subsidi ke nonsubsidi.
Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastuktur Pertamina Gandhi Sriwidodo mengatakan perusahaannya harus menjangkau seluruh terminal BBM dengan kebijakan itu. Sehingga memerlukan ongkos angkut yang besar.
Selain menanggung transportasi, Pertamina juga membutuhkan biaya untuk pemeliharaan TBBM dan biaya pencampuran Solar dengan minyak sawit. Apalagi, minyak sawit yang mengikat air. Sehingga biaya pemeliharaannya tinggi dan memiliki risiko tinggi ketika pencampuran.
Untuk itu pihaknya mengusulkan untuk mengajukan insentif kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). "Akan usulkan pada BPDPKS kalau kami mau optimalkan perluasan B20 tentu saja ini kan harus dipikiran bagaimana FAME ini bisa sampai atau terdeliver ke terminal BBM Pertamina," kata Gandhi di Jakarta, Rabu (26/9).
Gandhy juga mengusulkan kepada pemerintah agar menyatukan harga acuan Solar subsidi dan nonsubsidi. Ini akan memudahkan dalam proses administrasi juga operasional.
Dari data yang dipaparkan Pertamina di komisi VI DPR, selama periode 1 September sampai 25 September 2018, penyaluran B20 belum bisa dilakukan maksimal. Ini disebabkan terlambatnya supplai FAME dari beberapa Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) ke Terminal BBM Tanjung Uban, Bau-Bau, Wayame, Manggis, Tanjung Wangi, Kupang, Makassar, Bitung, STS Balikpapan, dan STS Kotabaru.
(Baca: Tiga Penyebab Kebijakan B20 Tak Berjalan Mulus)
Selama periode tersebut, baru 224.607 KL FAME yang terealiasi. Ini baru 62% dari pasokan FAME yang dipesan Pertamina dari badan usaha sebesar 431.681 KL untuk periode september. Adapun sisanya masih belum diterima pasokannya oleh Pertamina.