Genjot Ekspor, Pemerintah Kaji Cabut Dana Pungutan Minyak Goreng

Katadata | Agung Samosir
Pemerintah kaji rencana mengurangi atau mencabut pungutan minyak goreng.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
13/7/2018, 14.03 WIB

Pemerintah berencana memberikan insentif guna mendorong penguatan ekspor industri sektor pertanian dan kehutanan. Salah satu insentif tersebut dengan menurunkan atau meniadakan dana pungutan dari Badan Pengelola Dana Pungutan (BPDP) kepada produk minyak goreng.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, minyak goreng merupakan produk hilir dari industri kelapa sawit. Sehingga, dia beranggapan seharusnya dana pungutan BPDP tidak dikenakan.

"Fatty alcohol dan (produk hilir) yang lain tidak kena (pungutan BPDP), ya tentu minyak goreng yang juga termasuk produk hilir sewajarnya itu diangkat agar ekspornya meningkat," kata Airlangga di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/7).

Pemerintah juga merencanakan memberi insentif untuk industri mebel bidang usaha kecil dan menengah. Insentif itu berupa subsidi terkait Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

(Baca juga: Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)

Pemerintah juga akan mempermudah proses impor sampel produk. Nantinya, impor sampel produk bagi industri mebel tak perlu lagi melalui karantina. "Sehingga nanti industri itu bisa membuat produksi atau prototipe dengan lebih cepat," kata Airlangga.

Selain itu, pemerintah mengusulkan dorongan penambahan porsi serbuk karet (crumb rubber) dalam campuran aspal. Dorongan ini akan dilakukan guna meningkatkan permintaan dari industri karet.

Airlangga mengatakan usulan itu untuk industri karet di beberapa wilayah Indonesia. "Seperti bengkulu butuh industri seperti itu," kata Ketua Umum Golkar itu.

Untuk meningkatkan investasi, terdapat usulan mendukung proses relokasi pabrik-pabrik industri tekstil, garmen, maupun sepatu. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, dukungan tersebut diberikan untuk perpindahan pabrik dari wilayah berupah minimum tinggi ke yang lebih rendah.

(Baca : Volume Ekspor Sawit Triwulan I Turun Dampak Hambatan Dagang)

Darmin mengatakan, dukungan tersebut dapat berupa insentif perpajakan bagi industri tekstil, garmen, dan sepatu yang merelokasi pabriknya. Selain itu, pemerintah berencana membantu restrukturasi mesin produksi industri tersebut.

"Menperin usulkan kalau mesinnya sudah tua, pemerintah bantu restrukturisasi mesinnya dengan yang lebih baik dan yang lebih produktif," kata Darmin.

Indonesia mengalami neraca dagang defisit pada Januari, Februari, April dan Mei tahun ini. Defisit besar terjadi pada April yaitu US$ 1,6 miliar dan berlanjut pada Mei yaitu sebesar US$ 1,5 miliar. Defisit bulanan itu merupakan yang terbesar sejak Mei 2014. Dengan perkembangan tersebut, defisit neraca dagang telah mencapai US$ 2,8 miliar tahun ini.

Saat ini, pemerintah sedang berupaya mengurangi defisit neraca dagang lantaran hal itu juga memperburuk pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang memukul kinerja ekspor komoditas unggulan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet.

Menurutnya sebelum ada perang dagang, berdasarkan evaluasi produk asal Indonesia, ekspor CPO sudah minus 15,6% secara tahunan (year on year/yoy). Sementara itu, karet anjlok 21,4% pada periode Jan-Mei 2018 dibanding tahun lalu. Padahal, kedua komoditas primer tersebut berkontribusi sebesar 16% dari total ekspor non migas.