Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) akan kembali mendaftarkan uji materiil mengenai aturan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Januari lalu, ACTA dan Partai Idaman mengajukan uji materi aturan yang sama, namun kandas di MK.
Ketua Dewan Pembina ACTA Habiburokhman yang juga menjabat Kepala Bidang Advokasi dan Anggota Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, mengatakan uji materi tak hanya demi memajukan pencalonan Prabowo Subianto. Namun, agar memberikan kesempatan kepada masyarakat menyodorkan calon pemimpinnya masing-masing.
"Aturan ini tidak adil dan menutup aspirasi masyarakat," kata Habiburokhman di Jakarta, Senin (18/6).
(Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Ambang Batas Presiden Tetap 20%)
ACTA menyampaikan argumen pengajuan uji materi dengan dasar argumen Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 6 tentang syarat calon Presiden dan 6A yang mengatur tata cara pemilihan.
Dia menjelaskan Pasal 6 UUD 1945 tidak mensyaratkan adanya dukungan 20% suara partai politik atau 25% suara sah nasional. Namun ternyata dalam Pasal 222 yang seharusnya membahas tata cara pencalonan malah memuat syarat tambahan presidential treshold tersebut.
Oleh sebab itu pihaknya mengajukan gugatan Pasal 222 agar pemilihan Presiden 2019 diikuti banyak calon. Rencananya materi gugatan akan disampaikan ketika MK telah melewati libur.
Dirinya meyakini MK akan mengabulkan gugatan ACTA kali ini. Apalagi menurut dia saat ini masyarakat menginginkan adanya perubahan pemimpin. Selain ACTA, sebelumnya 12 tokoh telah mengajukan uji materi yang sama.
"Itu tanda kami tidak sendiri dan menginginkan penghilangan Pasal 222. MK seharusnya menerima permohonan ini, " kata dia.
(Baca: Presidential Threshold 20% Sejak 2009, Jokowi: Kenapa Dulu Tak Ramai?)
Pada Januari lalu, MK menolak gugatan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, dengan dua hakim mengajukan disssenting opinion atau perbedaan pendapat. Mereka yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Kedua hakim sepakat ketentuan presidential threshold dalam pasal 222 itu dihapus, di antaranya dengan alasan aturan ambang batas 20% memberikan ketidakadilan pada partai politik (parpol) baru.
Dalam pertimbangannya, MK memaparkan Pasal 222 tentang ambang batas presiden itu sesuai dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial. Selain itu MK memaparkan penerapan sistem presidensial suatu negara idealnya disertai penyederhanaan terhadap sistem kepartaian, namun hal ini belum tercapai di Indonesia.
(Baca: Alot Bahas Ambang Batas Presiden, Paripurna RUU Pemilu Hujan Interupsi)