Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengevaluasi laporan keuangan kementerian setelah mendapat predikat opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Opini BPK merupakan rapor merah KKP yang kedua setelah tahun lalu mendapatkan laporan yang sama.
Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo ketika dikonfirmasi Katadata belum banyak berkomentar terkait opini ‘disclaimer’ dan rekomendasi dari BPK.
“Laporan Keuangan sedang dipelajari dan temuannya nanti akan kami sampaikan,” kata Nilanto kepada Katadata, Kamis (7/6).
(Baca : BPK Beri Opini "Disclaimer" ke KKP, Luhut Minta Susi Belajar Mendengar)
Dia juga enggan memberikan informasi mengenai detail evaluasi yang dilakukan KKP dan juga kapan respons atas temuan BPK itu disampaikan ke publik. Padahal, BPK sudah memberikan rekomendasi dan menerima tanggapan sebelum laporan disampaikan ke publik.
BPK memberikan opini disclaimer kepada KKP terkait Laporan Keuangan 2017, sama seperti tahun sebelumnya. Opini tersebut diberikan BPK lantaran ada beberapa temuan signifikan pada pemeriksaan Laporan Keuangan KKP 2017.
(Baca juga: Jokowi Minta KKP dan Bakamla Perbaiki Laporan Keuangan yang Disclaimer)
Temuan-temuan BPK tersebut yaitu :
1. Persediaan sebesar Rp 38,28 miliar yang tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
a. Persediaan yang tidak didukung dengan penatausahaan yang memadai dan tidak dilakukan inventarisasi fisik sebesar Rp 33,92 miliar.
b. Persediaan kapal yang diakui telah selesai 100%, namun secara fisik belum selesai. Selain itu tidak tersedia data rincian harga satuan untuk komponen dalam kontrak sebesar Rp 4,36 miliar.
2. Nilai buku aset tetap diragukan sebesar Rp 556,99 miliar, terdiri dari:
a. Aset tetap yang keberadaannya tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 684,36 juta.
b. Saldo tidak wajar yang tak dapat dijelaskan penyebabnya sebesar Rp 226,60 miliar, di antaranya bersaldo minus, penyusutan melampaui harga perolehan, dan belum teridentifikasi penyusutannya.
c. Aset tetap tanah pulau Nipa kerja sama dengan pihak ketiga sebesar Rp 129,83 miliar yang luasan dan nilai perolehannya berbeda antara data menurut SIMAK BMN, perjanjian kerjasama pemanfaatan, dan persetujuan Kementerian Keuangan.
d. Konstruksi dalam pengerjaan (KDP) sebesar Rp 199,88 miliar di antaranya bersaldo minus sebesar Rp 78,87 miliar, transaksi tidak wajar sebesar Rp 4,25 miliar, mutasi keluar yang tidak dapat ditelusuri menjadi aset definitif sebesar Rp 56,02 miliar.
KDP hasil Pengadaan Barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung /KJA Offshore) sebesar Rp 60,74 miliar yang tidak didukung dengan dokumen progress fisik memadai dan dokumen Rencana Anggaran Biaya terinci untuk setiap komponen dalam kontrak.
3. Aset lainnya sebesar Rp 37,26 milliar yang tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
a. Aset tak berwujud berupa paten, hasil kajian yang tidak didukung dokumen perolehan lengkap dan valid sebesar Rp 24,57 miliar.
b. Nilai amortisasi yang melampaui nilai perolehan namun tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 10,54 miliar.
c. Saldo yang tidak wajar antara lain saldo minus dan perbedaan antara nilai pada neraca dengan SIMAK yang tidak dapat dijelaskan sebesar Rp2,15 miliar.
4. Utang kepada pihak ketiga atas pengadaan kapal sebesar Rp 4,06 miliar yang tidak diyakini kewajarannya, terdiri dari:
a. Saldo tersebut merupakan utang pengadaan kapal penangkap ikan yang diakui berdasarkan jumlah unit kapal yang telah selesai dan diterima dengan harga per unit sesuai kontrak.
b. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK dan dokumentasi Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) KKP, kapal tersebut tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak.
5. Realisasi belanja barang sebesar Rp164,42 miliar yang tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
a. Kelemahan pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja pengadaan kapal.
Ketidaksesuaian jumlah unit kapal antara KAK, SK Penetapan Penerima Bantuan dan Juknis Sarana Bantuan Penangkapan Ikan. Pengadaan kapal dinilai tidak sesuai KAK di mana menurut KAK sebanyak 755 unit namun terkontrak 785 unit.
Dari 755 unit kapal, pengadaan mesin sebanyak 743 unit. Alhasil, 12 unit kapal tidak mendapat kuota mesin.
Realisasi belanja pengadaan kapal sebesar Rp 25 miliar yang pembayarannya berdasarkan jumlah unit kapal selesai dan diterima dengan harga per unit sesuai kontrak.
Hasil pemeriksaan BPK atas kondisi kapal, dokumentasi Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) KKP dan Biro Klasifikasi Indonesia, kapal-kapal yang dibeli dengan anggaran sebesar Rp 25 miliar tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak.
Pelaksanaan pekerjaan tidak didukung dengan konsultan pengawas. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan atas unit kapal yang melebihi batas kontrak hingga 31 Maret 2018 belum dikenakan denda minimal Rp 5,4 miliar.
Sepuluh kontrak atau sebanyak 76 unit kapal senilai Rp 21 miliar yang penyelesaian pekerjaannya melebihi batas waktu sesuai PMK 243 tidak dilakukan pemutusan kontrak.
b. Selain itu, terdapat belanja antara lain berupa honorarium dan sewa sebesar Rp 139,41 miliar yang tidak didukung bukti lengkap dan diragukan validitasnya sebagai pertanggungjawaban atas realisasi kegiatan.
6. Realisasi belanja modal pengadaan barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas Pantai/KJA Offshore) sebesar Rp 60,74 miliar tidak diyakini kewajarannya.
a. Pembayarannya menggunakan progres fisik berdasarkan estimasi tanpa memperhatikan komponen-komponen yang belum terpasang.
b. Tidak tersedia data rincian harga satuan komponen-komponen tersebut dalam kontrak serta atribusi biaya perakitannya per item pekerjaan. Pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak didukung dengan konsultan pengawas.
Atas pengadaan tersebut ditemukan permasalahan lainnya, meliputi pembangunan dua unit work boat senilai Rp 25,4 miliar (sebelum PPn) yang seharusnya berasal dari Norwegia di subkontrakkan kepada pihak ketiga di Batam. Kelebihan pembayaran atas pengadaan item-item pekerjaan yang belum datang dan/atau lengkap per 31 Desember 2017 sebesar Rp 39,64 miliar.
Denda keterlambatan yang belum dipungut minimal sebesar Rp 8,82 miliar. Lalu, sampai dengan tanggal 5 April 2018 pekerjaan tersebut belum selesai. Padahal, sesuai dengan PMK 243 tahun 2015 pekerjaan tersebut harus selesai tanggal 31 Maret 2018.
(Baca Juga : Laporan Keuangan Pemerintah Terus Membaik, 90,9% Lembaga Dapat WTP)