Pemerintah akhirnya menerbitkan aturan perpajakan gross split yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Aturan anyar yang telah ditunggu-tunggu investor minyak dan gas bumi (migas) itu di antaranya mengatur mengenai insentif kepada kontraktor yang menjalankan operasi migas.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan poin-poin yang diatur dalam PP Gross Split sesuai seperti draft yang telah dibahas antara Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. "Tidak ada (yang) mengalami perubahan, semua sama sesuai harapan," kata Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (28/12).
PP Gross Split terdiri dari 34 pasal dan mulai berlaku sejak diundangkan pada 28 Desember 2017. Berdasarkan draft PP Gross Split yang diperoleh Katadata, aturan insentif diatur dalam Bab IX. Kontraktor akan mendapat empat fasilitas perpajakan mulai tahap eksplorasi dan eksploitasi hingga produksi migas komersial.
(Baca: Jokowi Akhirnya Teken Peraturan Pemerintah tentang Pajak Gross Split)
Fasilitas perpajakan tersebut yakni, pertama, pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.
Kedua, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang. Kontraktor tidak akan dipungut atas; perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak, impor barang kena pajak, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.
Ketiga, kontraktor tidak dipungut pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan bea masuk. Keempat, kontraktor mendapat pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 100% dari PBB migas terutang yang tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terutang. Pemberian fasilitas perpajakan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
Namun demikian apabila fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah itu digunakan di luar operasi perminyakan, maka kontraktor wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(Baca: Saka Energi Ikuti Lelang Dua Blok Migas Pakai Skema Gross Split)
Adapun pembebanan biaya operasi fasilitas bersama oleh kontraktor dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di sektor hulu migas, akan dibebaskan dari pengenaan PPh dan PPN.
Ada tiga syarat agar pembebasan pajak itu bisa dinikmati kontraktor. Pertama, barang yang digunakan, diperoleh atau dibeli kontraktor sebagai pelaksanaan kontrak merupakan barang milik negara. Kedua, harus mendapatkan persetujuan SKK Migas. Ketiga, pemanfaatan bersama itu tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan atau laba.
Selain itu pemerintah juga tidak memotong PPh dan tidak mengenakan PPN terhadap pembebanan alokasi biaya tidak langsung untuk kantor pusat kontraktor. Ada tiga syarat agar kontraktor bisa mendapatkan fasilitas ini.
Pertama, alokasi biaya tidak langsung untuk kantor pusat dipakai untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia. Kedua, kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya. Ketiga, besarannya tidak melampaui batasan pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat yang ditetapkan oleh menteri.
Selain mengatur tentang insentif pajak yang bisa didapatkan kontraktor dalam menggunakan kontrak gross split, ada beberapa hal lainnya yang juga diatur dalam aturan anyar itu. Salah satunya pengurang penghasilan kontraktor.
Pada pasal 6 aturan ini disebutkan bahwa biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang penghasilan dalam rangka bagi hasil minyak dan gas bumi dalam perhitungan penghasilan kena pajak (PKP). Biaya operasi dalam hal ini terdiri dari biaya eksplorasi, biaya eksploitasi dan biaya lainnya.
(Baca: Saka Akan Ajukan Penawaran di Pengujung Lelang Blok Migas)
Aturan anyar itu juga mengatur tentang tax lost carry forward atau kompensasi kerugian pajak, yang diatur dalam pasal 18. Pada pasal tersebut penghasilan bersih untuk satu tahun pajak bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan ditambah penghasilan lainnya dan dikurangi biaya operasi.
Sementara dalam hal penghasilan setelah dikurangi biaya operasi didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 10 tahun.
Adapun PKP bagi kontraktor dihitung berdasarkan penghasilan bersih dikurangi dengan kompensasi kerugian. Besaran PPh yang terutang bagi kontraktor itu dihitung berdasarkan PKP dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai ketentuan perundangan.