Pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor minyak dan gas bumi (migas) masih mendapat tantangan. Realisasi rencana ini justru dinilai dapat mengurangi manfaat yang bisa diterima masyarakat dibanding BUMN migas yang ada melakukan usahanya sendiri-sendiri.
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono mengatakan Kementerian BUMN memang telah mengkomunikasikan holding migas ini kepada anggota dewan. PT Pertamina (Persero) ditunjuk menjadi pimpinan holding ini dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. menjadi anak usahanya.
Meski begitu, dia menilai langkah pembentukan holding migas ini kurang tepat. "(Akan menjadi) masalah jika Pertamina mau digabung sektor migasnya dengan PGN. Manfaat yang diterima publik akan semakin memburuk," ujar Bambang saat acara diskusi dengan media, di Hotel Westin Jakarta, Senin (27/11).
Salah satu pengurangan manfaat yang bisa diterima publik adalah harga biaya transportasi gas yang semakin malah. Saat ini Pertamina menerapkan biaya distribusi gas sebesar US$ 2,5 per juta british thermal unit (mmbtu), sedangkan biaya yang dikenakan PGN untuk melakukan hal yang sama hanya US$ 0,7 per mmbtu.
"Pasti dengan holding akan pakai harga Pertamina. Jadi, naik ke atas. Akhirnya harga jual gas ke masyarakat akan lebih mahal," ujar Bambang. (Baca: Aturan Holding Jadi Sentimen Positif Saham BUMN Tambang)
Menurutnya, sebelum merealisasikan rencana ini, Kementerian BUMN sebaiknya melakukan perbaikan diinternal masing-masing BUMN yang akan dijadikan holding, terutama di sektor migas. Alasannya, sinergi BUMN yang menjadi program pemerintah pun belum berjalan dengan maksimal, bahkan terlihat seperti tergesa-gesa membentuk holding ini.
Apalagi, penunjukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan memimpin holding ini tidak dilakukan berdasarkan kapasitas yang sesuai. Dia mencontohkan dalam BUMN perkebunan, tidak ditemukan SDM yang memiliki latar belakang di bidang perkebunan, pertanian, atau perhutanan untuk memimpin. Alhasil, kinerja PTPN menjadi tidak maksimal dan mengalami kerugian.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan masih banyak kecurigaan yang berkembang di publik dan harus dijelaskan Kementerian BUMN terkait dengan pembentukan holding migas ini. Apalagi setelah terbentuk, PGN harus melepas statusnya sebagai BUMN, sehingga pengawasan negara kurang ketat.
(Baca: Kementerian BUMN Kaji Mitigasi Risiko Holding Perbankan)
Faisal menjelaskan Pertamina telah memiliki Pertagas yang bertugas mencari gas dan Pertaniaga yang bertugas mengantarkan gasnya. Namun, Pertaniaga ini lebih banyak menjual ke trader-trader gas, bukan langsung ke perusahaan atau ke publik (end user). Sementara PGN banyak melakukan penjualan langsung ke end user.
Dia khawatir Pertamina sebagai induk holding migas ini akan mengarahkan PGN melakukan hal serupa dengan Pertaniaga. Padahal, trader gas ini ditengarai sebagai pihak-pihak yang menyebabkan rantai distribusi gas semakin panjang. "Padahal PGN ini tidak banyak ke trader yang membuat pemburu rente ini kesal," ujarnya.
Dia pun mengimbau Kementerian BUMN agar tidak tergesa-gesa merealisasikan rencana tersebut. Pemerintah harus melakukan kajian yang mendalam dan terbuka untuk menjelaskan manfaat dari pembentukan holding ini agar tidak ada lagi kecurigaan dalam masyarakat.
(Baca: Target Masuk Fortune 500, Holding Tambang Siapkan Sinergi Operasional)