Ombudsman Republik Indonesia bakal membawa hasil temuan tentang rangkap jabatan pejabat publik di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Langkah itu diambil supaya parlemen turut mendorong pemerintah untuk menuntaskan persoalan rangkap jabatan tersebut.
Berdasarkan hasil riset Ombudsman, sebanyak 222 komisaris atau 41 persen dari total 541 komisaris BUMN tercatat masih merupakan pejabat publik. Identifikasi ini diperoleh dari pantauan lembaga pengawas pelayanan publik di 144 BUMN.
Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai mengatakan, rangkap jabatan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Maka itu, pihaknya berharap pemerintah merespons temuan lembaganya. “Saya yakin pemerintah punya komitmen baik dalam hal ini,” kata dia dalam Dialog Rangkap Jabatan PNS & Komisaris BUMN: Menyoal Profesionalisme ASN di Ruang Diskusi, Gedung A, Kantor LAN, Selasa (6/6).
Ia menjelaskan, mengacu Pasal 17 (huruf a) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelaksana pelayanan publik, termasuk pegawai negeri sipil (PNS), dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha di BUMN dan BUMD. “Pelakunya bisa dikenai sanksi pembebasan jabatan,” kata dia.
Ia pun berharap praktik rangkap jabatan segera dihentikan sebab bisa berdampak negatif terhadap kinerja pejabat terkait di pemerintahan. Dampak negatif yang dimaksud antara lain tugas pelayanan yang terabaikan, konflik kepentingan, dan rawan intervensi.
Selain itu, praktik tersebut juga dianggap tidak adil bagi para pelaksana pelayanan publik yang tidak melakukan rangkap jabatan. Ketidakadilan tersebut dalam hal penghasilan. “Satu lagi berkaitan dengan double income, ini kan unfair (tidak adil) bagi yang lainnya,” ucapnya.
Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN), Muhammad Taufiq mengatakan, rangkap jabatan oleh PNS juga bertentangan dengan etika profesi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, rangkap jabatan berpotensi menciptakan konflik kepentingan.
Ia menerangkan, salah satu fungsi utama PNS, sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, adalah pelaksana kebijakan. Bila PNS mengambil jabatan di BUMN, ini artinya PNS yang dimaksud bukan hanya berperan sebagai pemerintah atau regulator, tapi juga pihak yang diatur atau diawasi oleh pemerintah.
“Ini yang mengkhawatirkan, pejabat kementerian merangkap jabatan di BUMN yang justru bergerak di sektor yang diatur dan diawasi,” ujar Taufiq. (Baca juga: Tingkatkan Pengawasan, Rini Minta Komisaris BUMN Optimalkan Audit)
Ia menjelaskan, pada awalnya, pejabat eselon I dan II mendapat posisi komisaris BUMN/BUMD supaya bisa berperan sebagai wakil pemerintah dan pengawas arah kebijakan perusahaan. Namun, ia menekankan, hal tersebut bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang telah menaikkan remunerasi bagi PNS supaya PNS lebih profesional dan fokus kepada bidang tugasnya.
Ia pun berharap, praktik rangkap jabatan oleh pelaksana pelayanan publik mendapatkan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah. PNS diperbolehkan menjabat komisaris di BUMN/BUMD sepanjang yang bersangkutan melepaskan jabatan di birokrasi pemerintah.
Sementara itu, Komisioner Aparatur Sipil Negara (KASN) Tasdik Kinanto menilai persoalan rangkap jabatan bisa diselesaikan dengan koordinasi tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Setelah ketiga lembaga mencapai kesepakatan penyelesaian baru disampaikan kepada Presiden.
“Jadi dari pemerintah harus firm dulu, kalau tiga kementerian sudah ada kesepakatan, selesai urusan ini,” ujarnya. Ia pun mengaku sudah menyampaikan saran kepada Kementerian PAN-RB agar persoalan rangkap jabatan diatur dalam peraturan mengenai gaji.