Penindakan terhadap laporan yang masuk ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih rendah. Dari ribuan laporan yang masuk, hanya 13,7 persen yang bisa ditindaklanjuti KPPU ke proses hukum. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki keterbatasan dalam melakukan penindakan terhadap laporan-laporan yang masuk.

Sejak didirikan pada 1999, hingga tahun lalu KPPU telah menerima 2.537 laporan mengenai praktik usaha yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dari total laporan tersebut, 73 persen diantaranya terkait kecurangan dalam pelaksanaan lelang atau tender pengadaan barang dan jasa. 

"Kami menangani perkara yang bersumber dari laporan masyarakat. Kurang dari 80 persen laporan masyarakat dan 15-17 persen inisiatif," ujar Syarkawi saat konferensi pers, di Kantor KPPU, Jakarta, Selasa (30/5). (Baca: KPPU Incar Enam Kelompok Kartel Bawang Putih di Medan dan Surabaya)

Syarakawi mengakui tidak semua laporan bisa ditindaklanjuti oleh KPPU ke tahap penyelidikan, penyidikan, hingga ke pengadilan. Dari total 2.537 laporan yang masuk, hanya 348 laporan yang bisa naik ke proses perkara. Alasannya, KPPU memiliki keterbatasan dalam melakukan penindakan. Salah satunya, tidak bisa menindak proyek-proyek strategis pemerintah.

Seperti diatur dalam pasal 50 dan 51 UU 5/1999, KPPU tidak bisa menindak proses tender proyek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Aturan ini meliputi peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah. "Biasanya yang dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan adalah proyek yang sangat strategis," ujarnya.

Selain itu, KPPU juga tidak bisa menindak praktik usaha yang merupakan sinergi antar Badan Usaha Milik Negara (BUMN), KPPU tidak bisa menindak apabila satu BUMN menunjuk BUMN lainnya untuk mengerjakan proyeknya atas dasar efisiensi. Namun, jika ada pihak swasta yang bisa memberikan harga dengan kualitas lebih murah, KPPU bisa memperkarakan keputusan penunjukan langsung yang dilakukan BUMN

Secara lebih rinci, Direktur Penindakan KPPU Goppera Panggabean menjelaskan dari 348 laporan diperkarakan, sebanyak 245 diantaranya berkaitan dengan proses tender. Sementara sisanya, sebanyak 55 perkara non-tender dan 8 perkara terkait keterlambatan notifikasi harga.

"Masalah terbesar adalah ketidaktahuan bahwa isi perjanjian itu dilarang UU seperti perjanjian klausul non-competitive agreement atau seperti perjanjian perdagangan yang tidak boleh menerima deal bisnis dari orang lain," ujar Goppera. (Baca: Cegah Kartel Obat, Kementerian Kesehatan Gandeng KPPU)

Laporan yang diperkarakan KPPU didominasi 27 persen oleh sektor jasa konstuksi. Disusul berturut-turut sektor minyak dan gas bumi (migas) sebesar 5 persen, alat kesehatan 5 persen, peternakan/pertanian 5 persen, ketenagalistrikan 4 persen, kepelabuhan 3 persen, angkutan darat/laut 3 persen, dan 48 persen sektor lain-lain.

Goppera melanjutkan, sepanjang tahun lalu KPPU telah melayangkan sanksi kepada perusahaan berperkara dengan total denda sebesar Rp 2,06 triliun, denda bersyarat sebesar Rp 33,3 miliar, dan ganti rugi sebesar Rp 694,9 miliar. Namun, hanya 58 persen yang dikuatkan di pengadilan, sementara sisanya dibatalkan pengadilan.

Adapun sepanjang Januari- Mei 2017, total nilai tender yang menjadi objek penanganan perkara di KPPU mencapai Rp 22,5 triliun dan US$ 73,9 miliar. Hingga April 2017, keputusan yang sudah inkracht di pengadilan baru Rp 462 miliar. Sebanyak Rp 96 miliar yang diperoleh tahun ini berasal dari kasus kartel SMS dan kartel ban. (Baca: Honda dan Yamaha Kompak Ajukan Keberatan Atas Putusan Kartel KPPU)

"Masih ada 127 terlapor yang masih harus melakukan pembayaran. Alasannya kami tidak punya daftar aktiva pelapor, terkadang kami tidak bisa menemukan lagi alamat terlapor, dan ketidakmampuan terlapor membayar sehingga mengajukan cicilan," ujarnya.