Rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menerapkan skema baru kerjasama minyak dan gas bumi (migas) gross split menuai sorotan. Skema baru kontrak bagi hasil tanpa penggantian biaya operasional hulu migas atau cost recovery ini bisa mengancam ketahanan energi.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar mengatakan, salah satu kelemahan skema gross split adalah berkurangnya kontrol negara atas produksi migas nasional. Bahkan, kontrol negara bisa hilang sama sekali. “Pada gilirannya akan menurunkan ketahanan energi nasional terutama pada aspek ketersediaan energi,” kata dia, Senin (5/12).

(Baca: Ubah Kontrak Bagi Hasil, Jonan Berniat Hapus Skema Cost Recovery)

Selain produksi migas, kontrol negara atas pengelolaan cadangan juga bisa berkurang dan hilang. Hal ini bisa berujung pada melesetnya produksi migas, akibat dari kerusakan cadangan yang pada akhirnya juga akan menurunkan ketahanan energi nasional.

Dengan skema baru ini, Andang melihat keinginan pemerintah meningkatkan kegiatan eksplorasi migas tiga kali lipat dari sebelumnya dalam lima tahun ke depan akan sulit tercapai. Penyebabnya, para kontraktor akan lebih mengutamakan efisiensi biaya dan menggenjot produksi untuk penerimaan daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi. Apalagi tidak ada cost recovery.

Pengembangan lapangan marginal dan perolehan minyak lanjutan (Enhanced Oil Recovery/EOR) akan sulit dikembangkan karena biayanya yang besar dan tingkat pengembalian investasinya kecil. Padahal, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sudah direncanakan, dalam lima tahun ke depan kita akan mulai meningkatkan produksi dari potensi EOR sejumlah 2,5 miliar barel minyak bumi yang masih tersimpan di reservoir.

Implementasi transfer teknologi, pengembangan sumber daya manusia, tingkat komponen dalam negeri dan  standardisasi juga akan sulit dilakukan. Hal ini disebabkan kurang atau tidak adanya kontrol langsung pemerintah pada proses eksplorasi dan produksi dalam sistem Gross Split PSC.

Mengantisipasi kondisi itu, Andang menyarankan pemerintah memberikan batasan-batasan terhadap kontraktor di dalam syarat dan ketentuan kontraknya. Penerapan sistem ini sebaiknya diprioritaskan pada blok-blok migas produktif yang akan habis kontraknya dalam waktu dekat.

Prioritas lainnya pada blok migas yang cadangan tersisa dan potensi sumber daya migasnya relatif lebih pasti diketahui daripada blok-blok migas yang masih dalam tahap eksplorasi.

Untuk blok-blok migas produktif, besaran gross split ditentukan berdasarkan keekonomian rencana pengembangan tiap-tiap lapangan migas. Sedangkan besaran untuk blok-blok migas eksplorasi berdasarkan keekonomian rencana pengembangan konseptual dari sumber daya migas blok yang bersangkutan. Setelah adanya penemuan nantinya dimungkinkan renegosiasi berdasarkan hasil temuan dan biaya yang sudah dikeluarkan

Menurut Andang, pemerintah juga harus menetapkan level produksi yang sesuai dengan kondisi lapangan migas dan kebutuhan nasional terhadap migas. Dengan begitu, kontraktor tidak semata-mata mengontrol produksi di level tertentu untuk kepentingan bisnis.

Klausul tentang kewajiban manajemen cadangan migas di dalam kontrak juga diperlukan untuk menjaga keberlanjutan produksi sesuai dengan tingkat produksi yang ditetapkan pemerintah. Tujuannya meminimalkan kerusakan reservoir karena puncak produksi berjalan cepat dan penurunan level produksi secara drastis. Sebab, kontraktor akan mempercepat mendapatkan keuntungan dengan menggenjot produksi di awal masa kontrak.

(Baca: SKK Migas: Sistem Baru KKS Buat Kontraktor Migas Tak Terkendali)

Komitmen eksplorasi juga harus dicantumkan dalam kontrak kerjasama migas. Andang mencontohkan, dengan menetapkan 30 hingga 40 persen cadangan yang akan diproduksi akan didapatkan kembali melalui pelaksanaan komitmen eksplorasi sehingga jumlah cadangan migas dapat dijaga.

Jika diperlukan, gross split dapat dimodifikasi bersifat regresif - sliding scale yang akan berubah seiring pergerakan harga minyak atau gas. Artinya, ada insentif terhadap kontraktor ketika harga di bawah hitungan keekonomian dan ada penambahan bagian pemerintah ketika harga minyak dan gas naik tajam.

Di sisi lain, SKK Migas akan fokus sebagai counterpart atau rekan bagi kontraktor migas. “Untuk menjaga batasan-batasan sesuai dalam kontrak bagi hasil yang ditetapkan oleh Menteri ESDM,” ujar Andang.

Ia pun menilai, skema ini juga memiliki beberapa kelebihan. Pertama, praktis dan mempercepat proses pengambilan keputusan bisnis dari sisi kontraktor, karena keterlibatan pemerintah jauh berkurang atau bahkan tidak ada.  (Baca: KEN Nilai Skema Gross Split Sulit untuk Blok Migas Konvensional)

Kedua, efisien dan hemat uang negara. Ketiga, tidak ada lagi proses politik persetujuan parlemen terkait dengan penerimaan negara dari cost recovery. Keempat, mengurangi kerumitan audit karena hanya audit pajak, sementara audit kontraktual hanya sebatas pemeriksaan volume produksi dan atau penerimaan.