Kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) Blok East Natuna bisa segera ditandatangani. Hal ini menyusul adanya persetujuan dari kantor pusat ExxonMobil sebagai mitra PT Pertamina (Persero) dalam konsorsium yang akan menggarap blok tersebut.

Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan Pertamina sebenarnya sudah siap untuk menandatangani kontrak Blok East Natuna sejak Agustus lalu. Ini sesuai dengan keinginan pemerintah yang disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan.

(Baca: Kontrak East Natuna Tertunda Bulan Depan, Luhut: Ada Bagi-Bagi Kue)

Namun, penandatanganan kontrak bagi hasil tersebut tak kunjung terealisasi. Saat itu Pertamina masih menunggu kesepakatan mitra, yakni ExxonMobil dan PTT EP Thailand. Exxon kata Syamsu sudah minta persetujuan ke kantor pusat. “Kelihatannya mereka sudah ada lampu hijau dari kantor pusatnya untuk bicara detail mengenai East Natuna. Mudah-mudahan bisa ditandatangani (kontraknya),” kata dia di Jakarta, Rabu (8/11).

Menurut Syamsu, sebelumnya Exxon masih belum sepakat menggarap blok migas di Kepulauan Natuna ini, karena harus melihat portofolio secara global terlebih dahulu. Apalagi nilai investasi di Blok East Natuna juga tergolong mahal. Sehingga perusahaan asal Amerika Serikat ini perlu mengkaji syarat dan ketentuan dalam kontrak.

Syamsu mengatakan syarat dan ketentuan dalam kontrak termasuk skema bagi hasilnya sudah dibicarakan antarperusahaan anggota konsorsium. Nantinya bentuk kontrak yang akan ditandatangani oleh konsorsium Pertamina tidak terpisah antara gas bumi dan minyak bumi, tapi jadi satu.

(Baca: Blok East Natuna Bisa Produksi Minyak Tiga Tahun Lagi)

Sayangnya, Syamsu masih belum mau mengatakan besaran porsi bagi hasil minyak dan gas bumi dalam kontrak tersebut. Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Tunggal pernah menyebutkan Pertamina akan mendapat bagi hasil minyak sebesar 40 persen, dan sisanya bagian negara. Angka ini lebih besar dari kontrak biasanya yang hanya 30 persen menjadi bagian kontraktor.

Faktor lain yang menyebabkan penandatangan kontrak Blok East Natuna tertunda adalah terkait kepastian regulasi. Kontrak ini menunggu revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 mengenai cost recovery atau penggantian biaya operasi dan Pajak Penghasilan di hulu migas. Sekarang revisi aturan ini telah selesai. Sehingga, kata Syamsu, seharusnya sudah tidak ada kendala lagi.

Mengenai kapan penandatanganan kontraknya akan dilakukan, Pertamina menyerahkan keputusan ini kepada Kementerian ESDM. Sebenarnya pemerintah juga berharap kontrak Blok East Natuna bisa segera rampung. Apalagi blok migas ini juga sangat penting untuk  mendukung pertahanan negara, karena lokasinya berada di wilayah perbatasan.

“Pertamina siap November, bahkan dari Agustus. Namun, pemerintah juga harus mempertimbangkan dua anggota konsorsium lain (ExxonMobil dan PTT EP Thailand),” ujar Syamsu.

(Baca: Pemerintah Rampungkan Revisi Aturan Cost Recovery Industri Migas)

Terkait dengan hal ini, manajemen ExxonMobil masih belum bisa berkomentar. Hingga berita diturunkan, Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto belum membalas pesan yang dikirim Katadata melalui Whatsapp.