Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengkaji bentuk insentif pengembangan Lapangan Tiung Biru. Tujuannya agar proyek itu bernilai ekonomis dan Pertamina EP Cepu selaku kontraktornya segera memulai proses produksi lapangan gas di Blok Cepu tersebut.  

Direktur Utama Pertamina EP Cepu (PEPC) Adriansyah mengatakan, perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Cepu menjadi salah satu usulan insentif yang paling memungkinkan diberikan oleh pemerintah saat ini. Sebab, kewenangan perpanjangan kontrak blok minyak dan gas bumi berada di bawah Kementerian ESDM.

Sedangkan opsi insentif lainnya di bawah kewenangan kementerian berbeda, seperti Kementerian Keuangan. "Jadi menurut mereka (Kementerian ESDM) insentif ini (perpanjangan kontrak) lebih do able (bisa dilakukan)," kata Adriansyah kepada Katadata, Senin (17/10).

(Baca: Agar Laku, Pertamina Turunkan Harga Gas Lapangan Tiung Biru)

Meski begitu, menurut dia, Kementerian ESDM belum memutuskan secara resmi insentif perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Cepu itu. Selain itu, PEPC sebagai kontraktor diminta lebih fokus menggarap Lapangan Tiung Biru agar segera berproduksi dengan mengoptimalkan belanja modal yang tersedia.

"Pemerintah meminta kami lebih fokus untuk mengoptimalisasi capital expenditure. Insentif yang bisa segera dieksekusi mungkin hanya perpanjangan PSC (kontrak bagi hasil), " ujar dia.

Jika mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 mengenai kegiatan usaha hulu migas, jangka waktu kontrak kerjasama paling lama 30 tahun. Kontrak tersebut dapat diperpanjang maksimal 20 tahun untuk satu kali perpanjangan. Namun, permohonan perpanjangan paling cepat bisa dilakukan 10 tahun, dan paling lambat dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Menurut Adriansyah, masa kontrak Blok Cepu akan berakhir pada 2035. Artinya, PEPC baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pengelolaan paling cepat tahun 2025. (Baca: PLN Akan Serap Gas Jambaran-Tiung Biru Jika Harga di Bawah US$ 8)

Di sisi lain, dia menjelaskan, pemberian insentif fiskal sulit diberikan lantaran kewenangannya berada di bawah Kementerian Keuangan. Jadi, butuh waktu lama untuk memperoleh persetujuannya. Contohnya, investment credit atau tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi.

Adriansyah berharap proyek gas Lapangan Tiung Biru dapat segera mencapai hitungan ekonomis. Hitungan ekonomis itu terutama kalau tercapai kecocokan harga jual gas dengan kemampuan daya serap pasar.

Seperti diketahui, Kementerian ESDM menawarkan tiga insentif kepada PEPC untuk pengembangan Lapangan Tiung Biru karena hingga kini gas buminya belum juga laku. Pertama, pemberian investment credit

Kedua, skema bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor di Lapangan Tiung Biru. DAdriansyah menginginkan agar bagian kontraktor di Blok Cepu lebih besar dari pemerintah. Ketiga, mengkaji pemberlakuan cost recovery atau pemulihan biaya operasi di Lapangan Tiung Biru.

Di sisi lain, Pertamina mulai menawarkan harga gas dari Lapangan Tiung Biru lebih rendah dari harga sebelumnya. Dengan begitu, gas tersebut bisa laku dan proyeknya dapat berjalan. Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan, para pihak yang terkait dengan proyek gas tersebut sudah bertemu untuk menentukan harga gasnya.

Saat ini, PEPC mematok harga gas US$ 8 per mmbtu eskalasi dua persen. Patokan harga ini sesuai dengan proposal rencana pengembangan lapangan (PoD) yang sudah disetujui pemerintah. (Baca: Tekan Harga, Pemerintah Akan Atur Margin Keuntungan Pedagang Gas)

Gas tersebut semula akan dijual lagi ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, PLN keberatan membeli dengan harga saat ini, meskipun sudah meneken kesepakatan awal /Head of Agreement (HoA). Untuk itu, Pertamina mengusulkan agar harga gas dari Lapangan Tiung Biru ini turun menjadi sekitar US$ 7 dolar per mmbtu.