Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan tren penurunan lifting atau produksi siap jual minyak akan terus berlanjut hingga 2020. Penyebabnya adalah tidak adanya proyek migas yang berproduksi dalam jumlah besar selama empat tahun ke depan. 

Alhasil, lifting minyak masih mengandalkan beberapa lapangan migas saat ini yang tergolong sudah berumur tua. "Tidak adanya proyek atau PoD (Plan of Development / rencana pengembangan) besar minyak yang onstream (siap produksi) sampai dengan 2020," kata Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam rapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Senin (5/9). (Baca: SKK Migas Targetkan Empat Proyek Beroperasi Tahun Depan)

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017, pemerintah mengusulkan lifting minyak sebesar 780 ribu bph. Jumlahnya menurun dibandingkan target lifting minyak dalam APBN Perubahan 2016 yang sebesar 820 ribu bph.

Sementara itu pada 2018, SKK Migas meramal lifting minyak yang bisa dicapai hanya sebesar 630 ribu hingga 680 ribu bph. Sedangkan pada 2019 diperkirakan kembali turun menjadi  540 ribu hingga 610 ribu bph. Jumlahnya terus menurun menjadi 480 ribu sampai 550 ribu bph pada 2020 mendatang. Artinya, anjlok sekitar 40 persen dari target lifting minyak tahun ini.

Penurunan lifting minyak tahun depan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi lapangan migas yang cenderung sudah tua. Kedua, harga minyak dunia yang rendah sehingga kontraktor migas mengurangi kegiatan produksinya. Ketiga, masa kontrak beberapa blok migas akan berakhir sehingga mengurangi kegiatannya.

Salah satu kontraktor yang mengalami penurunan lifting adalah Chevron Indonesia di Blok Rokan. Tahun depan, blok ini diperkirakan hanya mampu mencapai lifting 228.900 barel per hari (bph). Padahal, produksinya tahun ini bisa mencapai 250.900 bph. (Baca: Lifting Minyak 11 Kontraktor Andalan Bakal Turun Tahun Depan)

Dua penyebab penurunan lifting Blok Rokan adalah umur yang semakin tua dan penundaan pengembangan NDD Area 14. Ada juga blok migas yang mengalami penurunan alamiah seperti PT Pertamina EP Indonesia di seluruh wilayah kerjanya dari 87.700 bph menjadi 85 ribu bph.

Selain itu, Blok South Natuna Sea B oleh ConocoPhillips Indonesia dari 19.300 bph menjadi 17.400 bph dan PC Ketapan II Ltd di Blok Ketapan dari 16.900 bph menjadi 15.200 bph. Adapun penurunan produksi alamiah BOB Pertamina – Bumi Siak Pusako di Blok CPP dari 11.500 bph menjadi 10.500 bph dan PHE WMO West Madura dari 9.200 bph menjadi 8.100 bph.

(Baca: Lifting Gas Blok Mahakam Diprediksi Turun Tahun Depan)

Medco E&P Rimau di Blok Rimau juga menurun dari 9.000 bph menjadi 5.500 bph. Sedangkan produksi JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi di Blok Senoro Toili menurun dari 7.200 bph menjadi 6.700 bph.

Di sisi lain, produksi Total E&P Indonesie di Blok Mahakam turun dari 64.300 bph menjadi 52.800 bph akibat pengurangan kegiatan akibat kontrak berakhir. Begitu juga produksi VICO di Blok Sanga-Sanga turun dari 12.800 bph menjadi 8.200 bph.