Harga minyak secara mingguan kembali melorot ke posisi terendah sejak April lalu atau dalam dua bulan terakhir. Kondisi ini di tengah merosotnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) dan bertambahnya pasokan minyak yang diperdagangkan dalam dolar. Padahal, harga minyak sempat bangkit hingga menembus level US$ 50 per barel pada awal bulan ini.

Harga minyak acuan West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli pada Kamis (16/6) lalu, turun US$ 1,80 menjadi US$ 46,21 per barel. Ini merupakan harga terendah sejak 13 Mei lalu. Bahkan, sepanjang pekan ini harga minyak turun 5 persen setelah mencapai level harga US$ 51 per barel pada 8 Juni lalu.

Pada saat yang sama, harga minyak acuan Brent untuk kontrak pengiriman Agustus mendatang merosot US$ 1,78 menjadi US$ 47,19 per barel. Ini merupakan posisi terendah harga minyak sejak 10 Mei lalu. Sedangkan sepanjang pekan ini harga minyaka cuan Brent merosot 5,5 persen. Sedangkan di bursa berjangka, harga minyak turun 9,8 persen selama enam hari perdagangan. 

(Baca: Permintaan Naik, Saudi Aramco Kerek Harga Minyak di Pasar Asia)

Harga minyak sebenarnya sempat bangkit dari level terendahnya selama 12 tahun terakhir pada Februari lalu. Namun, pemulihan harga ini telah mendorong peningkatan produksi di sejumlah negara sehingga dunia kembali kelebihan pasokan minyak. Alhasil, harga minyak tertekan lagi.

Misalnya di Amerika Serikat, ConocoPhillips mengoperasikan kembali sumur-sumur minyaknya di Surmont, Kanada. Sebelumnya, perusahaan ini menghentikan produksi sebagai akibat aksi unjuk rasa yang berujung pembakaran fasilitas. 

“Jika produksi minyak Kanada sudah mulai pulih, harga bisa berangsur naik,” kata kepala analis dari CMC Markets di Sidney seperti dikutip Bloomberg, Jumat (17/6). Ia memprediksi gejolak harga tidak akan sebesar awal tahun ini karena pasar mulai menemukan titik keseimbangannya.

Harga minyak juga tertekan oleh sikap pemerintah Rusia. Menteri Perminyakan Rusia Alexander Novak memandang, negaranya belum perlu menjalin kerjasama dengan Arab saudi untuk mengintervensi pasar. Artinya, Rusia tidak akan mengerem produksinya demi mendongkrak harga minyak. 

“Sekarang kita ada dalam masa harga minyak yang rendah,” kata Novak, seperti dilansir Bloomberg, Kamis (16/6). Ia menambahkan, harga minyak rendah ini bisa berlangsung selama 10 hingga 15 tahun mendatang. 

(Baca: Produksi Turun, Harga Minyak Indonesia Melonjak 20 Persen)

Menurut dia, harga minyak juga berisiko turun jika produksi di Kanada, Libia, dan Nigeria sudah pulih. Dengan harga minyak saat ini, produksi minyak serpih Amerika Serikat kemungkinan mulai pulih awal tahun depan. (Baca: Harga Minyak Anjlok, Laba Pertamina Tergerus Rp 409 Miliar)

Di sisi lain, perusahaan minyak Rusia, Rosneft, akan memperluas kerjasamanya dengan BP Plc. Dengan membentuk perusahaan patungan, mereka akan mengucurkan investasi US$ 300 juta untuk kegiatan eksplorasi dan sejumlah kajian.

Sementara itu, Iran terus membanjiri pasar dengan produksi minyaknya. Pada Mei lalu, empat bulan setelah sanksi atas negara itu dicabut, Iran menghasilkan 3,64 juta minyak per hari. Laporan ini diterbitkan International Energy Agency.

Produksi minyak Iran saat ini 730 ribu barel per hari sejak akhir tahun lalu. Pencapaian ini merupakan yang terbesar di antara anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Negara tersebut mengekspor minyak mentah hingga 2,6 juta per hari pada Mei lalu. Jumlah ini hampir naik tiga kali lipat dari yang tercatat pada November 2015, berdasarkan laporan lembaga riset ClipperData.

“Iran sangat sukses dalam meningkatkan produksi minyak mentahnya sejak sanksi dicabut,” kata konsultan senior dari lembaga riset JBC Energy, Julius Walker, seperti dikutip CNN, Kamis (16/6).