Pemerintah berencana memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016. Besaran pemotongan subsidi tersebut mencapai 65 persen dari dana subsidi yang dialokasikan dalam APBN 2016.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, dana subsidi Solar dalam draf APBNP 2016 dipotong menjadi Rp 350 per liter. Sebelumnya, subsidi Solar dipatok Rp 1.000 per liter dengan mekanisme tetap atau fixed subsidy. “Karena harga minyak turun,” katanya dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (2/6).
(Baca: BPK Minta Pertamina Setor Keuntungan Solar Subsidi Rp 3,1 T ke Negara)
Dengan perubahan tersebut, maka subsidi BBM dan elpiji tabung tiga kilogram (kg) dalam draf APBNP 2016 menjadi Rp 40,63 triliun. Jumlahnya menurun Rp 23,05 triliun dibandingkan alokasi dana dalam APBN 2016.
Sejak awal tahun, harga minyak dunia memang terus melorot hingga sempat berada di bawah level US$ 30 per barel. Ini tentu berdampak terhadap penurunan harga BBM, termasuk Solar, sehingga beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah bisa berkurang.
Di sisi lain, persoalan subsidi Solar ini tengah mendapat sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam audit terbarunya, BPK menemukan kejanggalan dalam Laporan Keuangan PT Pertamina (Persero) tahun 2015. Yakni, adanya kelebihan pendapatan dari penjualan Solar bersubsidi.
Kelebihan pendapatan disebabkan karena pemerintah menetapkan harga jual eceran Solar bersubsidi lebih tinggi dari harga keekonomiannya. Menurut Anggota VII BPK Achsanul Qosasi berdasarkan aturan dan ketentuannya, pemerintah memberikan subsidi tetap untuk solar sebesar Rp 1.000 per liter. (Baca: Untung Jualan Premium, Laba Kuartal I Pertamina Meningkat)
Namun, ada waktu tertentu pada tahun lalu, pemerintah memberikan subsidi lebih rendah dari yang seharusnya. Ini terjadi karena adanya tren penurunan harga minyak dunia yang terjadi sepanjang tahun lalu.
Dia mengakui bahwa kelebihan pendapatan ini telah dilaporkan Pertamina dalam laporan keuangannya. Namun, BPK mempertanyakan kejelasan mengenai status dana tersebut. BPK ingin kelebihan pendapatan dari hasil penjualan solar ini dihitung sebagai penerimaan negara. Hal ini membuat Pertamina meraup keuntungan hingga Rp 3,1 triliun.
Meskipun menemukan adanya kejanggalan dalam laporan keuangan Pertamina, Achsanul mengaku, BPK tidak memiliki kewenangan untuk menentukan status dana tersebut. “Tinggal nanti badan usaha ini (Pertamina) berdiskusi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ujarnya. (Baca: Pertamina Setor Dividen 35 Persen dari Laba Bersih 2015)
Ada dua opsi yang bisa dilakukan, apakah dana ini akan dikompensasikan untuk subsidi tahun depan atau Pertamina mengembalikan dana tersebut kepada negara. Achsanul mengisyaratkan bahwa Pertamina sudah membicarakan hal ini dengan pemerintah. Kemungkinan opsi yang akan diambil adalah menggunakan dana tersebut sebagai kompensasi subsidi tahun berikutnya.