Selain itu, sentimen pergantian Menteri Perminyakan Arab Saudi juga ikut berpengaruh terhadap harga minyak dunia. Pencopotan Al-Naimi yang digantikan oleh Khalid al-Falih sebagai Menteri Perminyakan Arab Saudi, bisa menjadi sentimen positif berhentinya perang harga minyak. (Baca: Perang Harga Minyak: Kekalahan Amerika dan Kemenangan OPEC)

Pada era Al-Naimi, menurut Pri Agung, Arab Saudi terus meningkatkan produksi agar harga minyak turun. Tujuannya untuk mematikan pangsa pasar minyak serpih (shale oil) yang diproduksi Amerika Serikat. Namun, strategi itu kemungkinan tidak akan dilakukan oleh Khalid al-Falih. “Dia bersedia berkompromi agar harga membaik, tetapi dengan konsekuensi shale oil akan hidup lagi,” ujar dia.

Namun, Pri Agung tidak bisa memperkirakan kelanjutan kenaikan harga minyak hingga akhir tahun nanti. Yang jelas, posisi saat ini membuka peluang kenaikan harga minyak hingga level US$ 50 per barel, atau bahkan US$ 60 per barel.  

Kenaikan harga minyak ini merupakan sinyal positif untuk Indonesia. Dari sisi sektor hulu migas, kenaikan harga minyak saat ini akan menggairahkan kembali investasi di dalam negeri. Sementara di hilir, kenaikan harga ini belum tentu akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, harga BBM dievaluasi setiap tiga bulan. “Harapan saya harga bisa membaik. Yang jelas bahwa titik terendah itu sudah lewat,” kata dia. (Baca: IPA: Industri Migas Indonesia Masuk Tahap Kritis)

Rendahnya harga minyak memang telah memukul industri hulu migas selama setahun terakhir. Dalam riset Wood Mackenzie, secara global industri migas telah mengurangi belanja investasi hingga US$ 400 miliar sejak kuartal keempat 2014 hingga kuartal kedua 2016. Pada tahun ini, investasi kegiatan eksplorasi diperkirakan turun sekitar US$ 40 miliar. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan utama migas di Indonesia telah menunda investasi hingga US$ 7 miliar.

Halaman: