Saudi Aramco berencana meningkatkan produksi untuk memenuhi kenaikan permintaan minyak belakangan ini. Meski begitu, perusahaan minyak terbesar milik kerajaan Arab Saudi ini tidak khawatir rencana tersebut bakal menekan kembali harga minyak. Bahkan, Saudi Aramco memperkirakan harga minyak akan segera bangkit pada awal tahun depan.
Chief Executive Officer Saudi Aramco Amin Nasser menyatakan, produksi atau pasokan dan permintaan minyak dunia bakal menemui titik keseimbangan baru pada akhir tahun ini atau paling lambat awal 2017. “Selanjutnya harga (minyak) akan terus menjadi lebih tinggi lagi," katanya seperti dilansir CNN, Selasa (10/5).
(Baca: Bisa Raup Rp 1.320 T, IPO Saudi Aramco yang Terbesar di Dunia)
Pada Februari lalu, harga minyak sempat anjlok ke titik terendah dalam satu dekade terakhir. Penyebabnya, permintaan minyak melorot seiring perlambatan ekonomi global sehingga produksi minyak dunia berlimpah.
Namun, dalam dua bulan terakhir ini, harga minyak cenderung terus bergerak naik hingga ke level US$ 45 per barel. Padahal, Arab Saudi tidak mengurangi atau membekukan sementara produksinya seperti yang dilakukan beberapa negara anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC). Arab Saudi berperan paling besar di OPEC. Karena itu, negara di kawasan Timur Tengah ini menekan anggota-anggota OPEC agar tetap mempertahankan produksi minyak yang tinggi.
International Energy Agency memprediksi permintaan minyak dunia akan meningkat pada semester kedua tahun ini. Bahkan, diramal bakal sedikit melampaui persediaan, sekitar 96 juta barel per hari. Sedangkan produksi Saudi Aramco lebih dari 10 juta barel minyak per hari. (Baca: Defisit Rp 1.372 Triliun, Arab Saudi Naikkan Harga BBM)
Nasser menyebut produksi pasti akan meningkat seiring kenaikan permintaan. “Jika memang diperlukan untuk meningkatkan produksi, akan kami lakukan,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah Arab Saudi telah mengumumkan rencana menjual sebagian kecil kepemilikan sahamnya di Saudi Aramco melalui skema penawaran saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO). Menurut Wakil Putra Mahkota Saudi Arabia Mohammed bin Salman, IPO Saudi Aramco akan menjadi IPO terbesar di dunia. “Jika Aramco menawarkan satu persen saja sahamnya ke pasar, ini akan menjadi IPO terbesar di dunia,” katanya dalam wawancara tersebut, seperti dilansir CNBC News, Selasa dua pekan lalu (26/4).
Ia pun menyebut, nilai saham Saudi Aramco sebesar US$ 2 triliun. Jika mengacu kepada 5 persen saham yang akan dilepas maka Saudi Aramco akan meraup dana IPO sebesar US$ 100 miliar atau setara dengan Rp 1.320 triliun.
Arab Saudi memang tengah ditimpa masalah seretnya penerimaan gara-gara anjloknya harga minyak dunia sejak tahun lalu. Pemerintah negara itu berencana mulai mengurangi ketergantungan terhadap minyak pada 2020 mendatang. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kebijakan energinya adalah mencopot Menteri Energi Ali al-Naimi, Sabtu pekan lalu. Penggantinya adalah bekas bos Saudi Aramco, yaitu Khalid al-Falih.
Menteri baru ini dikenal di industri minyak dunia sebagai CEO Aramco selama enam tahun, pada 2009 hingga 2015. Ia menggantikan Naimi yang telah menduduki jabatan tersebut sejak 1995. (Baca: Saudi Krisis Anggaran, Pemerintah Harap Investasi Kilang Berlanjut)
Namun, pengangkatan Falih sebagai Menteri Energi dinilai hanya akan memperkuat strategi ekonomi Arab Saudi. Jadi, bukan untuk membuat perubahan pola pikir dalam kebijakan yang menyangkut minyak. “Kebijakan terhadap minyak yang selama ini ada juga bukan merupakan hasil pemikiran personal Naimi, melainkan kebijakan kerajaan,” kata analis senior Energy Aspects, Richard Mallinson seperti dikutip Reuters, Sabtu (7/5).