Anjloknya harga minyak mentah dunia mengakibatkan akumulasi kerugian begitu besar terhadap perusahaan minyak dan gas dunia, tak terkecuali bagi korporasi besar di Amerika Serikat. Hasil riset Energi Information Administration (EIA) menyebutkan 40 perusahaan penghasil minyak di Amerika tahun lalu merugi hingga US$ 67 miliar atau sekitar Rp 884,8 triliun. Penelitian ini mengecualikan ExxonMobil dan Chevron yang tetap membukukan keuntungan tahun lalu meski menurun.
Menurut mereka, kondisi perusahaan minyak Amerika yang berdarah-darah ini masih akan berlangsung dan sudah terlihat pada awal 2016. Kerugian setiap perusahaan lebih dari US$ 1 miliar. Hal ini dialami EOG Resources, Devon Energy, dan Linn Energy. Perusahaan pengeboran minyak serpih (shale oil), SandRidge, baru-baru ini menyatakan telah mengajukan status bankrut.
“Sepertinya perusahaan-perusahaan itu, yang memang sangat berpengaruh, bertaruh dengan penuh risiko,” kata Direktur Riset Komoditas ClipperData, Matt Smith seperti dikutip CNN pada Selasa, 26 April 2016. Selain meminjam uang untuk melakukan eksplorasi penuh risiko, perusahaan-perusahaan itu mengembangkan lapangan minyak yang tidak mendatangkan keuntungan. Tindakan tersebut bisa menjadi bumerang ketika harga merosot tajam. Kemudian, perusahaan pun kehilangan nilai aset.
Analisa EIA mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan yang rentan mengalami kerugian adalah para produsen minyak yang terlalu banyak berutang selama tahun-tahun booming minyak. Sebanyak 18 perusahaan minyak asal Negara Paman Sam merugi dan masih dibebani utang jangka panjang sebesar US$ 57 miliar.
EIA mengingatkan perusahaan-perusahaan ini berpotensi mencatatkan rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio sebesar 99 persen. Saat arus kas mengering, seperti yang mereka rasakan saat harga minyak mulai terpuruk pada pertengahan 2014, perusahaan pun makin kesulitan membayar bunga utang. (Baca: Pasokan Berkurang, Harga Minyak Dunia Menuju US$ 40).
Sebagai perbandingan, ada 22 perusahaan yang juga merugi, tapi masih lebih baik dibanding 18 perusahaan yang disebut sebelumnya. Sebanyak 22 perusahaan itu menanggung utang dengan total nilai US$ 40 miliar atau 58 persen dari ekuitas. Kelompok perusahaan dengan utang tinggi tersebut memang kehilangan simpanan mereka sebesar 21 persen tahun lalu. Sementara itu, kelompok perusahaan lain hanya mengalami pengurangan enam persen, berdasarkan data EIA.
Meski harga minyak sudah berangsur pulih dari US$ 26 per barel pada Februari lalu menjadi lebih dari US$ 42 per barel hari ini, perusahaan minyak masih mengalami tekanan finansial. Wall Street menyebut kerugian akan tetap dialami perusahaan pengeboran minyak seperti Continental Resource, Diamondback Energy dan Denbury Resources.
Kondisi lebih parah bakal menghadang perusahaan pengeboran minyak serpih asal Oklahoma, SandRidge Energy, yang masih bergantung pada utang sebesar US$ 3,6 miliar. Perusahaan ini telah mengisyaratkan kebankrutan bulan lalu. Jika memang terjadi, ini akan menjadi kebankrutan terbesar perusahaan minyak di Amerika Utara. (Baca: Februari, Harga Minyak Indonesia Mulai Merangkak Naik).
EIA memberi peringatan terhadap perusahaan minyak dengan jumlah utang tinggi dan nilai aset yang minim akan adanya pembatasan akses kepada kredit jangka pendek. Akibatnya, perusahaan tersebut akan kesulitan melakukan pengeboran minyak, bahkan bisa berujung pada kebankrutan. Menyusul kondisi ini, industri minyak sekarang menghadapi redeterminasi dengan perbankan, yaitu proses pengurangan atau bahkan penarikan kredit .
Namun hingga saat ini, perbankan belum terlalu menekan klien-kliennya yang berasal dari perusahaan minyak, karena pulihnya harga minyak. Contohnya, perusahaan minyak Chesapeake Energy tidak lagi cemas karena telah mendapat kucuran dana US$ 4 miliar dari bank. “Meski telah terjadi banyak kerugian, masa-masa kepanikan sudah berakhir sekarang,” ujar Smith. (Baca: Ekonografik: 2016, Harga Minyak Makin Jatuh?)