Rencana Saudi Aramco menjual sebagian sahamnya melalui skema penawaran saham perdana ke publik (IPO) semakin terang. Wakil Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman mengklaim aksi korporasi perusahaan minyak milik kerajaan itu akan menjadi IPO terbesar di dunia.
Dalam sebuah wawancara stasiun televisi Al Arabiya News Channel, Senin (25/4), Salman menyatakan, pihak kerajaan berencana melepas lima persen saham Saudi Aramco ke publik melalui skema IPO. Meski tak menyebut waktu pelaksanaan IPO, pencatatan saham perusahaan minyak terbesar di dunia itu akan dilakukan di bursa saham Arab Saudi. Padahal, sebelumnya sempat tersiar kabar pencatatan sahamnya akan dilakukan di bursa Amerika Serikat.
Menurut Salman, IPO Saudi Aramco akan menjadi IPO terbesar di dunia. “Jika Aramco menawarkan satu persen saja sahamnya ke pasar, ini akan menjadi IPO terbesar di dunia,” katanya dalam wawancara tersebut, seperti dilansir CNBC News, Selasa (26/4). Ia pun menyebut, nilai saham Saudi Aramco sebesar US$ 2 triliun. Jika mengacu kepada 5 persen saham yang akan dilepas maka Saudi Aramco akan meraup dana IPO sebesar US$ 100 miliar atau setara dengan Rp 1.320 triliun.
(Baca: Saudi Krisis Anggaran, Pemerintah Harap Investasi Kilang Berlanjut)
Jumlah tersebut mematahkan rekor IPO terbesar sebelumnya yang dicetak oleh Alibaba Group Holding Ltd. Perusahaan e-commerce asal Cina ini melangsungkan IPO pada September 2014, dengan perolehan dana US$ 25 miliar. Ini melampaui nilai IPO terbesar pendahulunya, yaitu Agricultural Bank of China Ltd. senilai US$ 21,8 miliar pada 2010 silam.
Selain melangsungkan IPO, Saudi Aramco juga akan berubah menjadi induk usaha (holding) dengan nama Arabian American Oil Company. Holding ini akan memiliki beberapa anak usaha, yang sahamnya juga bakal dijual bersamaan dengan IPO Saudi Aramco.
Saudi Aramco pernah dikendalikan oleh Amerika, meski kemudian menjadi perusahaan kerajaan Arab Saudi. Cadangan minyak mentahnya mencapai 265 miliar barel. Jumlah ini lebih 15 persen dari total cadangan minyak dunia. Saban hari, Saudi Aramco memproduksi lebih dari 10 juta barel minyak. Ini tiga kali lebih besar dari produksi minyak ExxonMobil, perusahaan minyak terbesar yang tercatat di bursa saham asal AS. Cadangan Saudi pun 10 kali lebih besar dari ExxonMobil.
Di sisi lain, manajemen Saudi Aramco berharap adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran minyak sehingga harga minyak mentah dapat pulih di pengujung tahun nanti. “Harga (minyak) akan pulih karena harga yang ada di pasar saat ini tidak akan bertahan untuk jangka panjang,” kata CEO Aramco Amin Nasser kepada Reuters. (Baca: Penerimaan Minyak Tergerus, Saudi Utang Rp 137 Triliun)
Penjualan sebagian saham Saudi Aramco ini merupakan bagian dari rencana induk pemerintahan Arab Saudi untuk melepaskan diri dari ketergantungan minyak bagi pendapatan negara tersebut. Di tengah tren rendahnya harga minyak dunia belakangan ini, pemerintah Arab Saudi mencanangkan target bebas dari ketergantungan minyak pada 2020 mendatang. Salman menyebut, ketergantungan terhadap minyak telah menghambat pengembangan perekonomian negara di kawasan Timur Tengah itu sejak beberapa tahun terakhir.
Untuk itu, pemerintah Arab Saudi telah menerbitkan cetak biru perekonomian negaranya berjudul Saudi Vision 2030. Cetak biru setebal 84 halaman ini mencakup peraturan, anggaran dan perubahan kebijakan yang akan diterapkan dalam 15 tahun ke depan. Melalui siaran persnya, pemerintah Arab Saudi mengatakan ingin membangun masa depan perekonomian yang makmur dan berkelanjutan.
Pemerintah Arab Saudi juga menyebut rencana privatisasi Saudi Aramco demi menghimpun dana mandiri bagi perekonomiannya. Sebab, sebagai pengekspor minyak terbesar di dunia, pemasukan utama negara ini sangat bertumpu pada penjualan minyak ke luar negeri. Namun, harga minyak mentah yang terus merosot hingga sempat di bawah US$ 30 per barel menyebabkan Arab Saudi mengalami defisit anggaran sebesar US$ 98 miliar pada tahun lalu.
Para pejabat kerajaan juga tengah melakukan diversifikasi sumber penerimaan negara. Salman menyatakan, perolehan dana IPO Saudi Aramco akan digunakan untuk membiayai sektor-sektor usaha nonmigas.
(Baca: Konglomerasi Arab Saudi Lirik Investasi Properti di Indonesia)
Pada Senin (25/4) lalu, McKinsey memprediksi cetak biru rencana tersebut akan mampu membangkitkan kembali perekonomian Arab Saudi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakanbakl naik dari pencapaian tahun lalu yang sebesar 3,4 persen. Selain itu, bakal membuka enam juta lapangan pekerjaan pada 2030, yang berfokus pada delapan sektor nonminyak, termasuk manufaktur, pertambangan, pariwisata, kesehatan dan keuangan. Investasi asing juga diharapkan naik dari 3,8 persen menjadi 5,7 persen terhadap nilai produk domestik bruto (PDB) pada 2030.
Namun, Direktur Riset Ekonomi Gulf Research Centre, John Sfakianakis meragukan keberhasilan rencana tersebut. “Memasang target memang penting. Namun ini terlalu sulit,” ujarnya, seperti dilansir Financial Times, Selasa (26/4). Sebab, diperlukan peran semua lapisan masyarakat di Arab Saudi, termasuk sektor swasta, untuk mewujudkan rencana tersebut.