KATADATA - Semestinya, pertengahan tahun ini, BP Indonesia menyelesaikan tahapan keputusan akhir investasi (Final Investment Decision/FID) untuk unit pengolahan atau Train III Tangguh. Harapannya, bila berjalan sesuai rencana, megaproyek senilai US$ 12 miliar tersebut mulai berproduksi pada pertengahan 2020.
Namun, kabar tak sedap datang dari Teluk Bintuni, Papua Barat. Proyek fasilitas pengolahan ketiga di Tangguh itu bakal terhambat. Sumber Katadata di industri migas menyatakan ada tiga kendala yang menghadang. Pertama, belum ada bank yang menawarkan pinjaman dengan bunga kompetitif untuk membangun kilang. Kedua, kejatuhan harga gas seiring produksi baru beberapa blok di Afrika dan Amerika. Ketiga, BP belum juga mendapat pembeli gas domestik. (Baca: SKK Migas Targetkan Dapat Komitmen Pembeli Gas Tangguh Bulan Depan).
Dari rencana produksi gas sebanyak 3,8 juta ton per tahun di Train III, hingga hari ini baru laku 65 persen. Pembelinya Kansai Electric Power dari Jepang dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang telah meneken perjanjian jual-beli gas pada pertengahan Desember 2015. “Sebanyak 35 persen masih cari pembeli,” kata sumber tersebut seusai mengikuti rapat pembahasan Tangguh, Selasa, 29 Maret 2016.
Pemerintah menginginkan sisa 35 persen gas yang belum terjual ini dipasok untuk kebutuhan domestik. Ini lah yang menurut dia menjadi beban berat karena belum mendapatkan pembeli, sementara batas waktu makin terbatas. (Baca: Dicari: Pembeli LNG Tangguh Train 3 Secepatnya).
Untuk mencari jalan keluar, sumber Katadata di pemerintahan mengatakan, BP sudah mengirim surat ke Kementerian Koordinator Perekonomian. Perusahaan migas asal Inggris itu meminta pemerintah mengizinkan sisa produksi gas agar bisa diekspor. Sayangnya, hingga saat ini belum ada lampu hijau dari pemerintah. “Kalau tidak 100 persen terjual, FID bakal tertunda,” ujarnya.
Sementara ketika dikonfirmasi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan belum mengetahui mengenai surat dari BP Indonesia. “Nanti akan saya cek lagi,” kata Darmin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 29 Mart 2016. Meski begitu, dia memaklumi jika domestik kesulitan menyerap gas tersebut. Mengingat harga gas di Indonesia masih dianggap terlalu mahal. (Baca: Harga Gas Kilang Tangguh Berpotensi Turun).
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I.G.N. Wiratmaja Puja belum mau berkomentar banyak mengenai hal tersebut. Kementerian Energi sampai saat ini masih membahas kelanjutan proyek Tangguh. “In progress,” ujar dia kepada Katadata, kemarin.
Sebagaimana diketahui, Train III adalah proyek pengembangan dari Tangguh LNG. Blok ini merupakan proyek multinasional yang melibatkan pengembangan enam lapangan gas di Kontrak Kerja Sama (KKS) Wiriagar, Berau and Muturi di Teluk Bintuni, Papua Barat. Saat ini sudah ada kilang yang beroperasi di sana. (Baca: Kawasan Industri Teluk Bintuni Terganjal Pasokan Gas Tangguh)
Tangguh dioperasikan oleh BP Berau Ltd. yang 100 persen milik BP, dengan dua anak perusahaan BP lainnya yakni BP Muturi Holdings B.V. dan BP Wiriagar Ltd. Dengan begitu, BP memegang 37,16 persen saham di proyek tersebut. Sisanya dimiliki oleh MI Berau B.V. sebanyak 16.30 persen, CNOOC Muturi Ltd. 13.90 persen, Nippon Oil Exploration (Berau) Ltd. 12.23 persen, KG Berau Petroleum Ltd 8.56 persen, KG Wiriagar Overseas Ltd. 1.44 persen, Indonesia Natural Gas Resources Muturi Inc. 7.35 persen, dan Talisman Wiriagar Overseas Ltd. 3.06 persen.