Ini Tantangan Rizal Ramli untuk Operator Blok Masela

Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli
Penulis: Safrezi Fitra
12/3/2016, 12.00 WIB

KATADATA - Di tengah kisruh perbedaan pendapat mengenai skema pengembangan Blok Masela, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli memanggil operator Blok Masela, Inpex, menemuinya sekitar Awal Februari lalu. Dalam pertemuan itu Inpex diminta menjelaskan rencana pengembangan Blok Masela menggunakan skema terapung (Floating Liquefied Natural Gas / FLNG) dan manfaatnya bagi perekonomian masyarakat Maluku.

Tenaga Ahli Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Abdul Rachim menceritakan dalam pertemuan tersebut Rizal Ramli menantang Inpex dalam rencana pengembangan Blok Masela. Rizal bertanya apakah Inpex berani mempertanggungjawabkan perhitungan nilai investasi untuk skema laut sebesar US$ 14,8 miliar dan tidak akan bertambah. Jadi pengembalian biaya investasi (cost recovery) yang ditanggung pemerintah tidak lebih dari angka tersebut.

“Jadi kalau harganya nanti melambung, dibayar sendiri sama Inpex. Berani enggak tandatangan (komitmen) itu? Enggak berani. Artinya Inpex enggak mau tanggung jawab sama hitungannya itu,” kata Abdul saat berdiskusi soal migas dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (11/3). (Baca: Seteru di Balik Kisruh Pengembangan Blok Masela)

Ketika dikonfirmasi, Inpex enggan menanggapi tantangan Rizal Ramli. “Kami sudah memasukkan proposal PoD. Saat ini kami menunggu keputusan dari pemerintah,” ujar Senior Manager Communication And Relation Inpex Usman Slamet kepada Katadata.

Abdul juga meragukan perhitungan Inpex. Jika membandingkan dengan proyek FLNG Prelude yang sedang dikerjakan salah satu kontraktor Blok Masela, Shell, dengan kapasitas 3,6 juta ton biayanya US$ 12,6 miliar. Sementara proyek Blok Masela kapasitasnya dua kali lebih besar, tapi investasinya hanya 20 persen lebih mahal dari Prelude.

Hitungan Inpex-Shell yang menyebut nilai investasi skema darat lebih mahal FLNG juga berbeda dengan perhitungan Fortuga, yang menyatakan sebaliknya. Abdul lebih percaya hitungan Fortuga, karena anggotanya terdiri dari orang-orang yang berpengalaman di bidang pengolahan gas alam cair (LNG). Seperti mantan Deputi BP Migas yang pernah menjabat Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu Haposan Napitupulu dan mantan Presiden Direktur PT Badak NGL yang mengelola kilang LNG darat terbesar di dunia dengan kapasitas 22,5 juta ton. (Baca: SKK Migas: Skema Darat Blok Masela Buang Waktu dan Ongkos)

Meski tidak berani menerima tantangan dari Rizal, Abdul tetap yakin Inpex masih berkomitmen  mengembangkan Blok Masela. Perusahaan migas asal Jepang ini sudah masuk ke Blok Masela sejak 1998 dan sudah mengeluarkan dana hingga US$ 1-2 miliar. Investasi ini belum bisa diambil lewat cost recovery, karena blok migas tersebut belum berproduksi. Inpex pastinya sangat berharap agar pemerintah segera memutuskan revisi proposal rencana pengembangan (Plan of Development / PoD) Blok Masela. Agar proyeknya bisa dikerjakan dengan cepat dan segera berproduksi.

Menurut dia, lebih baik jika pengembangan Blok Masela menggunakan skema darat, karena lebih murah sekitar US$ 6 miliar dibandingkan skema laut. Jika ada kemungkinan nilai investasinya berubah (deviasi) sebesar 10 persen pun masih tetap lebih murah skema darat. Indonesia juga telah punya pengalaman membangun 16 kilang LNG di darat. (Baca: Gaduh Menteri, Jokowi: Jangan Ributkan Sesuatu yang Belum Tuntas)

Menurut Haposan yang saat ini menjabat Staf Ahli Menteri Rizal, selain lebih murah pembangunan jaringan pipa 600 kilometer (km) untuk mengalirkan gas Blok Masela ke Kepulauan Aru, Maluku, akan membantu perekonomian daerah sekitarnya. Dengan skema darat, tidak semua gas dari Blok Masela dijadikan LNG. Gasnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan industri seperti petrokimia, amonia untuk pabrik pupuk, dan pembangkit listrik. Kebutuhan petrokimia dan turunannya seperti plastik di dalam negeri masih harus mengandalkan impor.

Menurut Haposan, dengan gas industri tersebut bisa tumbuh karena mendapat pasokan bahan baku harga yang ekonomis. Jika gasnya diolah menjadi cair, harga pasti akan tinggi. Biaya untuk mencairkan gas ini, kata dia, sebesar US$ 2-3 per juta british thermal unit (mmbtu). Kemudian LNG ini harus diregasifikasi lagi agar bisa digunakan, biayanya juga sekitar US$ 2-3 per mmbtu. Artinya ada tambahan biaya sekitar US$ 4-6 per mmbtu dibandingkan gas langsung.

Dengan skema laut, semua gas yang dihasilkan dari Blok Masela dicairkan menjadi LNG. Sementara pengolahan gas menjadi LNG hanya bertujuan agar gas tersebut mudah untuk dipindahkan. Dia mencontohkan negara asal Inpex, Jepang yang membutuhkan banyak gas. Masalahnya gas yang dihasilkan Inpex di Indonesia sulit untuk dialirkan ke negara tersebut. Makanya harus dicairkan agar mudah dibawa dengan kapal. (Baca: Peta Kabinet soal Pengembangan Blok Masela Berubah)

Reporter: Anggita Rezki Amelia