KATADATA - Pemerintah mulai membuka beberapa opsi untuk meringankan syarat izin ekspor PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu tidak harus mengeluarkan uang sebesar US$ 530 juta untuk mendapat izin ekspor dari pemerintah. Padahal sebelumnya, itu merupakan syarat yang harus dipenuhi Freeport jika ingin mengekspor hasil tambangnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan Freeport Indonesia meminta keringanan syarat untuk mendapatkan izin ekspor. Alasannya, kondisi keuangan Freeport yang sedang sulit. “Harga komoditi lagi drop (jatuh), pasar mereka juga lagi kurang,” kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (3/2). (Baca: Belum Bayar US$ 530 Juta, Ekspor Freeport Dihentikan)
Berdasarkan laporan keuangan induk usahanya, Freeport-McMoRan (FCX) mengalami kerugian sebesar US$ 12,23 miliar sepanjang tahun lalu. Kerugian ini lebih besar dibandingkan yang dialami 2014 yang hanya US$ 1,3 miliar. Total utang Freeport-McMoRan selama 2015 juga membengkak menjadi US$ 20,42 miliar. Padahal total utang di 2014 hanya US$ 18,84 miliar.
Melihat kondisi ini, Sudirman memahami persyaratan membayar uang jaminan pembangunan smelter senilai US$ 530 juta akan memberatkan Freeport. Ada kemungkinan lain yang bisa dilakukan Freeport tanpa harus membayar uang tersebut, dengan menunjukkan bentuk keseriusan lain untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). “Bisa dengan menunjukkan kontrak-kontrak. Pokoknya spirit-nya mencari jalan keluar,” ujarnya.
Sampai saat ini pemerintah belum memutuskan opsi apa yang bisa dilakukan Freeport untuk mengganti persyaratan uang jaminan. Pemerintah juga masih menunggu apa usulan dari Freeport. Intinya, kata Sudirman, Freeport harus bisa meyakinkan pemerintah akan membangun smelter sesuai dengan jadwal.
Sudirman tidak menginginkan sikap ini dianggap pemerintah memberi keistimewaan hanya kepada Freeport. Pemerintah juga akan mencari jalan keluar bagi perusahaan manapun yang sedang mengalami kesulitan. Ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan pertambangan. Sehingga bisa memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah dan nasional. (Baca: Investasi Asing di Pertambangan Makin Surut)
Pemerintah sebelumnya memberikan dua syarat kepada Freeport untuk mendapatkan izin ekspor yang telah berakhir pada 28 Januari lalu. Syarat pertama, Freeport Indonesia diminta membayar bea keluar 5 persen dari harga jual untuk setiap hasil tambang yang mereka kirim ke luar negeri. Hal ini berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM bahwa pembangunan smelter Freeport belum mencapai 60 persen.
Kewajiban membangun smelter termuat dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bila tak melaksanakannya, kontraktor atau pemegang izin usaha dilarang mengekspor produknya. Larangan ini akan dicabut seiring kemajuan pembangunnan smelter. Namun, dalam tahapan tersebut, perusahaan akan terkena bea keluar progresif. Adapun izin menjual mineral ke luar negeri bisa diperbarui dalam periode tertentu.
Dalam aturan teknis, Pasal 13 dan 14 Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 menyebutkan perpanjangan rekomendasi eskpor diberikan apabila perusahaan memenuhi sejumlah syarat. Yakni kemajuan pembangunan smelter minimal 60 persen dari target setiap enam bulan dan kinerja lingkungan yang baik. Kemudian membayar kewajiban penerimaan negara bukan pajak selama enam bulan terakhir. (Baca: Pemerintah Pastikan BUMN Ambil Alih Freeport)
Syarat kedua, Freeport Indonesia harus menunjukkan kesungguhan dalam membangun smelter. Caranya, perusahaan mesti menyetorkan uang komitmen untuk mendirikan pabrik yang totalnya ditaksir mencapai US$ 530 juta ke Kementerian Energi. “Kami sudah kasih warning dari kapan-kapan, tinggal pelaksanaannya dan kembali kami minta Freeport menghormati kebijakan,” Sudirman pekan lalu.