KATADATA - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung keinginan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membeli jatah saham divestasi PT Freeport Indonesia tahun ini. Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadel Muhammad menilai saham tersebut lebih baik dibeli oleh perusahaan BUMN. Jika 10,64 persen saham divestasi Freeport itu diberikan ke perorangan akan berisiko disalahgunakan.

Artinya, Fadel lebih sepakat perusahaan BUMN yang diberikan kesempatan membeli saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu, dibandingkan dijual melalui skema penawaran saham perdana ke publik (IPO) atau skema lelang ke perusahaan swasta nasional. Apalagi, sebelumnya proses perpanjangan inzin kontrak Freeport saja sempat memicu polemik yang berujung pada mundurnya Ketua DPR Setya Novanto. "Divestasi saham Freeport berikan pada perusahaan BUMN saja, jangan diberikan kepada orang-perorang nanti papa beli saham lagi, " ujar Fadel di Jakarta, Senin (1/2).

(Baca : Transkrip Rekaman Lengkap Kongkalikong Lobi Freeport)

Fadel juga meminta BUMN tak perlu khawatir soal pendanaan untuk membiayai pembelian saham Freeport. BUMN bisa menyusun kebutuhan pendanaan untuk membeli saham Freeport, kemudian diusulkan kepada DPR. Selanjutnya, DPR akan mencari cara agar BUMN memiliki dana untuk membelinya.   

Menteri BUMN Rini Soemarno memang sudah menyiapkan empat BUMN untuk membeli saham divestasi Freeport Indonesia. Keempat BUMN tersebut adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Dari segi pendanaan, Rini menilai konsorsium empat BUMN ini dinilai mampu untuk membeli saham yang ditawarkan Freeport senilai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun itu.

Selain divestasi saham, Fadel juga menyoroti izin ekspor Freeport Indonesia. Menurut dia, pemerintah terlalu berpihak pada Freeport dibandingkan BUMN. Melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri, pemerintah memberikan keistimewaan terhadap Freeport dengan memberikan izin ekspor.  Sedangkan BUMN tidak diizinkan melakukan ekspor.

(Baca : Pemerintah Isyaratkan Beri Izin Ekspor Freeport)

Untuk itu, Fadel menyatakan DPR akan meninjau kembali aturan tersebut. Aturan itu akan diselaraskan dengan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba). Ada tiga poin penting dalam RUU Minerba. Pertama adalah mengoptimalkan pendapatan negara dari sektor Minerba. Kedua, usaha di sektor Minerba harus berjalan dengan baik tanpa menutup usaha pertambangan rakyat. Ketiga, memperbesar peran pemerintah dan meningkatkan koordinasi antar pusat dan daerah.

Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan juga sepakat dengan Fadel soal penerimaan negara. Menurut dia, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba tahun 2015 terus menurun. Jika tidak ada terobosan, dia khawatir nasib PNBP 2016 akan sama dengan 2015.  

Selain itu, dia menyoroti pengolahan dan pemurnian Minerba. “Terutama soal ketegasan, mana yang harus dimurnikan mana yang boleh dilakukan di dalam negeri dan seterusnya. Siapa yang boleh terutama dari sisi produknya,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono enggan membahas mengenai RUU Minerba karena RUU Minerba masih menjadi inisiatif dari DPR. Meski begitu, pemerintah akan tetap memberi masukan dalam penyusunan RUU.

(Baca : BUMN Akan Dapat Prioritas Pengelolaan Tambang)

Mengenai divestasi saham Freeport, menurut Bambang, pemerintah belum mengambil keputusan. Sebab, masih menunggu rekomendasi dari tim khusus lintas kementerian untuk menilai saham Freeport Indonesia. Tim khusus ini terdiri dari perwakilan dari Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perwakilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Belum masuk semuanya rekomendasinya, kalau sudah masuk nanti kami sampaikan,” ujarnya.

Reporter: Anggita Rezki Amelia