KATADATA - Kejatuhan harga minyak dunia hingga di bawah US$ 40 per barel memukul keuangan banyak negara, tak terkecuali Arab Saudi. Tahun ini, anggaran negara petrodolar itu defisit hingga US$ 98 miliar atau sekitar Rp 1.372 triliun.
Untuk mempersempit bolong tersebut, Kerajaan Saudi memutuskan menaikkan harga bahan bakar hingga 50 persen. Walau terlihat tinggi, kenaikan tersebut hanya menjadi 0,9 rial atau sekitar US$ 24 sen per liter. Harga setara Rp 3.360 per liter untuk bensin beroktan 95 -Pertamax Plus di Indonesia- itu berlaku mulai hari ini, Selasa, 29 Desember 2015.
Sebagai negara yang sangat mengandalkan pendapatan dari ladang minyak, kejatuhan emas hitam benar-benar menekan pemasukan negara. Beban anggaran Pemerintah Saudi makin berat dengan subsidi energi yang begitu besar. (Baca: Diumumkan Hari Ini, Harga Premium Cuma Turun Rp 200 - Rp 300).
Perusahaan investasi yang berbasis di Saudi, The Jadwa Investment, memperkirakan pemerintah menghabiskan US$ 61 miliar per tahun untuk subsidi energi. Dari jumlah itu, sebesar US$ 11 miliar habis unutk subsidi bensin. Karenanya, Pemerintah Saudi berencana mengurangi defisit menjadi US$ 87 miliar.
Untuk mengatasi ketimpangan pendapatan dan pengeluaran ini, Pemerintah Saudi sudah menghabiskan cadangan devisi cukup besar. Persediaan mata uang asing terutama dolar Amerika tergerus dari US$ 728 miliar pada akhir tahun lalu menjadi US$ 640 miliar Desember ini. Tak heran bila melihat kondisi ini para investor memantau dengan ketat atas apa yang akan dilakukan Saudi ketika minyak mentah makin terpuruk -kemarin minyak di New York Mercantile Exchange diperdagangkan US$ 37,46 per barel.
Karena itu, pada anggaran tahun depan Arab Saudi mendasarkan pendapatan pada harga yang lebih rendah dari $ 40 per barel dengan produksi 10,2 juta barel per hari. “Itu kurang dari $ 56 per barel dari proyeksi anggaran 2015,” kata Fahad Alturki, Kepala Ekonom dan Penelitian Jadwa Investment sebagaimana dikutip www.thestar.com. Dalam anggaran 2015, pendapatan minyak menyumbang 72 persen dari total pendapatan, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 87 persen.
Selain masalah subsidi, anggaran Pemerintah Arab juga terkuras untuk menutup biaya rutin. Misalnya, hampir separuh dari belanja tahun ini atau sekitar US$ 120 miliar diperuntukkan untuk membayar upah, gaji, dan tunjangan. “Selama ini belum ada overspending utama yang menunjukkan tekad pemerintah untuk merasionalisasi pengeluaran,” kata Alturki. Namun dengan pemangkasan subsidi bensin, dia menilai sebagai langkah yang cukup maju. (Baca juga: Pemerintah Berharap Penurunan Harga BBM Kerek Konsumsi Masyarakat).
Sebenarnya, kondisi ini bukan pertama kali bagi Arab Saudi dan negara-negara Teluk penghasil minyak terserang defisit anggaran. Ketika harga minyak turun tajam pada 1986, Arab Saudi mengalami defisit anggaran hingga 15 tahun. Lalu, secara signifikan meningkatkan utang publik sampai harga minyak pulih pada 2000-an.
Namun, hal yang sedikit membedakan dengan situasi saat ini yakni ketika harga minyak mentah turun, negara-negar yang tergabung dalam Organisasi Produsen Minyak (OPEC) mempertahankan produksi minyak dalam jumlah besar. Alih-alih memotong produksi untuk mendorong harga naik, Arab Saudi secara agresif meningkatkan produksi dengan alasan untuk menjaga pangsa pasar dan menghadang produsen minyak serpih seperti Amerika di pasar global.
Terkait dengan kesehatan anggaran Arab itu, pada pertengahan September lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan defisit anggaran negara penghasil minyak terbesar dunia tersebut mencapai 20 persen dari produk domestik brutonya. “Ini pertama kalinya juga Saudi menjual surat utang,” kata Bambang.
Katadata (KATADATA)
Bercermin dari hal tersebut, Bambang mengatakan pemerintah harus memperhatikan bahwa negara yang punya kemampuan besar saja terkena masalah. Kondisi ini pun pasti menjalar ke Indonesia dan negara lain.