KATADATA ? Rencana pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menambah opsi skema kontrak kerjasama minyak dan gas bumi (migas) menuai reaksi beragam. Jika pelaku bisnis migas memberikan respons positif, pengamat malah menilai sistem baru tersebut berpotensi menyimpang dari konstitusi.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti menambah varian kontrak kerjasama migas di luar kontrak bagi hasil produksi atau production sharing contract (PSC) yang berlaku saat ini. Yaitu sistem gross split atau sliding scale dimana pemerintah tidak lagi mengganti biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor (cost recovery). Sebagai gantinya, investor akan mendapat sebagian besar hasil pada awal produksi. Setelah investasinya hampir impas (balik modal), bagi hasil untuk pemerintah menjadi semakin besar.
Menurut Komaidi, tidak ada jaminan sistem baru itu akan menguntungkan negara atau pengusaha karena tergantung pola bagi hasil di dalam kontrak tersebut. Ia justru khawatir sistem kontrak tersebut tidak sesuai dengan konstitusi lantaran tidak ada lagi peran negara. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat 3 jelas dinyatakan bahwa ?bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kesejahteraa masyarakat?.
"Kalau secara aspek konstitusi, yang sekarang itu (PSC) lebih cocok karena kontrol negara masih ada. Kalau gross split, kontrol pemerintah menjadi relatif longgar," ujar Komaidi kepada Katadata, Rabu (5/8). Pemerintah seharusnya lebih ketat mengawasi sistem kontrak migas, terutama bagi hasil yang diterima. Pasalnya, dengan sistem gross split, pemerintah akan mendapat bagian lebih kecil saat awal produksi. "Jangan sampai sudah BEP (balik modal), tapi klaim belum," tukasnya.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan tengah menyusun aturan teknis skema baru kontrak tersebut untuk menarik minat investor sehingga meningkatkan kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Payung hukumnya adalah Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan akan ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM yang ditargetkan rampung bulan ini.
Sebagai operator migas, Dewan Direksi Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah menilai, skema baru tersebut akan menghemat waktu dan biaya. Lantaran ketiadaan sistem kontrol oleh SKK Migas karena tidak ada lagi biaya investasi maka proyek bisa digarap lebih cepat. ?Sistem PSC saat ini memerlukan waktu 13 tahun dari tanda tangan kontrak sampai dengan produksi perdana,? katanya. Dengan skema baru, dia memperkirakan, hanya butuh waktu enam sampai delapan tahun dari kontrak hingga produksi perdana. Otomatis, biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil.
Bagi pemerintah, skema baru tersebut juga menguntungkan karena tidak ada lagi beban cost recovery. "Pemerintah seharusnya ikut untung, terutama seluruh risiko biaya ditanggung sepenuhnya 100 persen oleh investor dan perdebatan selama ini tentang cost recovery akan sirna atau tidak ada lagi," kata Sammy.