KATADATA ? Pemerintah perlu menegaskan status gas elpiji 12 kilogram (kg) sebagai komoditas bersubsidi atau non-subsidi. Penegasan tersebut agar tidak menyebabkan polemik ketika Pertamina menaikkan harga elpiji ukuran 12 kg ke atas.
?Pemerintah seperti ambigu, apakah elpiji itu komoditas subsidi atau bukan,? kata pengamat energi Darmawan Prasodjo saat dihubungi Katadata, Senin (6/2).
Di satu sisi, dia mengatakan, Pertamina merupakan korporasi milik negara yang ditugaskan untuk mencari keuntungan. Namun di sisi lain menanggung beban subsidi penjualan elpiji. ?Sekitar 70 persen kebutuhan elpijij dalam negeri diimpo r dari Saudi Aramco,? kata dia.
Hal ini, kata Darmawan, menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan Pertamina mesti disesuaikan dengan harga kontrak yang ditentukan Aramco. Ini membuat unit harga yang dikeluarkan Pertamina menjadi lebih mahal, karena juga harus memperhitungkan nilai kurs dan distribusi.
Elpiji merupakan bahan bakar gas yang dicaIrkan yang berasal dari gas alam dan gas dari pengolahan minyak bumi. Ada dua komponen utama dalam elpiji, yakni propana dan butana.
Per Desember 2013, harga kontrak propana Saudi Aramco mencapai US$ 1.100 per metrik ton, sedangkan butana sebesar US$ 1.225 per metrik ton. Jika diambil median dari keduanya, harga elpiji mencapai US$ 1.162 per metrik ton atau US$ 1,16 per kg. Harga tersebut setara Rp 13.950 per kg dengan kurs Rp 12.000 per dolar.
?Dari kacamata korporasi langkah yang diambil Pertamina sudah tepat,? kata Darmawan.
Meski begitu, dia mengatakan, pemerintah semestinya dapat memetakan tujuan dari tata kelola energi. Jika bertujuan untuk memberikan energi yang murah bagi masyarakat seharusnya pemerintah bisa mengantisipasi kebutuhan gas yang meningkat.
?Sekarang seperti tidak ada strategi dari pemerintah,? ujarnya. ?Dan ini hanya bisa dilakukan jika ada kepemimpinan yang kuat untuk mengoordinasikan secara kolektif di pemerintahan.?
Pemerintah seperti dikutip dari Tempo, memutuskan untuk menurunkan harga elpiji 12 kg dari Rp 117.708 menjadi Rp 82.200 per tabung mulai 7 Januari, atau hanya naik Rp 1.000 per kg dari sebelumnya. Keputusan tersebut diambil setelah pertemuan beberapa menteri ekonomi dan Pertamina dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Senin (6/2).
Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan salah satu alasan Pertamina menaikkan harga elpiji karena hasil audit BPK terhadap Pertamina ditemukan kerugian sebesar Rp 7,7 triliun dari perdagangan elpijij 12 kg. ?Kenaikan yang hanya Rp 1.000 per kg membuat kerugian Pertamina berkurang Rp 1,2 triliun,? ujarnya.