Jalan Panjang Divestasi Freeport

Arief Kamaludin | KATADATA
www.ptfi.co.id
Penulis:
Editor: Arsip
6/2/2014, 00.00 WIB

Adapun divestasi tahap kedua, hingga kini tidak pernah terealisasi. Divestasi lanjutan ini tidak jadi dilaksanakan, setelah muncul Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing. Dalam Peraturan itu disebutkan bahwa kepemilikan saham asing pada anak perusahaannya di Indonesia diperbolehkan hingga 100 persen.

Munculnya peraturan pemerintah ini otomatis menggugurkan kewajiban divestasi tahap kedua oleh Freeport. Ini karena dalam Kontrak Karya disebutkan, bila ada aturan hukum yang meringankan, Freeport boleh mengikuti aturan tersebut.

Itu sebabnya pula, ketika kemudian muncul  Peraturan Pemerintah baru yang mewajibkan divestasi saham lebih besar, Freeport menolak mengikuti. Dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 umpamanya, perusahaan tambang asing diwajibkan melakukan divestasi saham sampai 20 persen.  Peraturan ini kemudian diperbaharui dengan PP 24 Tahun 2012 yang mewajibkan divestasi secara bertahap sampai mencapai 51 persen.

Pada April 2012, Chief Executive Officer Freeport McMoran Richard Adkerson menyatakan, dalam menjalankan operasinya Freeport mendasarkan pada Kontrak Karya 1991. ?Kami dilindungi Kontrak Karya, bukan hukum pertambangan yang baru,? kata Richard. CEO Freeport ini juga menegaskan tidak akan mengikuti peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan tambang asing melakukan divestasi saham ke pihak nasional.

Untuk menyiasati buntunya upaya divestasi, pemerintah kemudian melakukan renegosiasi kontrak karya Freeport yang berakhir pada 2021. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pernah menyatakan, pemerintah meminta Freeport mau mendivestasikan 51 persen saham. Tapi, hingga kini tak kunjung jelas, berapa besar saham yang akhirnya akan bersedia dilepas oleh Freeport.

Halaman:
Reporter: