Krisis harga minyak membayangi dunia sering jatuhnya harga-harga acuan internasional. Harga minyak Amerika West Texas Intermediate (WTI) di bursa berjangka Nymex minus, sedangkan harga minyak internasional Brent di bursa berjangka ICE kembali terperosok ke kisaran US$ 25 per barel. Harga minyak minus baru kali ini terjadi sepanjang sejarah.
Penurunan tajam ini menjadi hantaman berat, terutama bagi negara-negara eksportir minyak, yang masih terpukul oleh kejatuhan harga emas hitam tersebut mulai 2014. Harga emas hitam terjun bebas dari atas US$ 100 per barel ke kisaran US$ 30 per barel pada awal 2016 -- terendah dalam 12 tahun -- imbas berlimpahnya stok dari berbagai negara produsen.
(Baca: Harga Minyak Minus, Perusahaan Migas Tunda Proyek dan Pangkas Produksi)
Produksi shale oil Amerika Serikat mencapai puncaknya pada 2012-2014 dan membanjiri pasar dalam negerinya. Di tengah kondisi ini, negara-negara eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC mencatatkan produksi yang melebihi target guna mempertahankan pangsa pasar. Sedangkan permintaan minyak dunia tak sesuai ekspektasi seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
Seiring waktu, OPEC baru memutuskan untuk memangkas produksi guna menstabilkan harga. Harga minyak dunia mulai menapak naik pada 2018 ke kisaran US$ 50 – 60 per barel, bahkan harga Brent sempat menyentuh level US$ 70 per barel. Selain karena pemangkasan produksi oleh OPEC, kenaikan dipicu masalah geopolitik yakni sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap dua negara anggota OPEC yaitu Iran dan Venezuela.
Namun, kenaikan lebih lanjut harga minyak dunia tertahan. Harga minyak bergerak di kisaran US$ 60 per barel seiring konsumsi minyak yang lebih lemah dari ekspektasi imbas berlanjutnya perlambatan ekonomi dunia. Tekanan terhadap ekonomi dunia terutama berasal dari perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, yang berisiko meluas ke negara-negara lain.
(Baca: Disebut Terkait Fluktuasi Harga Minyak Dunia, Apa itu WTI dan Brent?)
Di tengah ketidakpastian ini, virus corona tiba-tiba menyebar cepat menjadi pandemi global dan memaksa berbagai negara melakukan pembatasan aktivitas sosial dan bisnis. Dunia pun kembali mengalami banjir stok minyak mentah. Harganya berada dalam tren turun sejak awal tahun ini, namun penurunan-penurunan tajam mulai terjadi sejak akhir Februari.
Pada awal Maret, Rusia menolak usulan pemangkasan lebih jauh produksi minyak dalam pertemuan negara-negara eksportir minyak dan aliansinya OPEC+. Hal ini sempat memicu perang harga alias price war selama sebulan antara Arab Saudi dan Rusia.
Perang harga berakhir setelah pada pertemuan di awal April, OPEC+ sepakat memangkas produksi minyak sebesar 10% atau sekitar 10 juta barel per hari. Permasalahannya, permintaan minyak turun 30 juta barel per hari, bahkan lebih. Alhasil, kejatuhan harga minyak belum bisa terelakkan.
(Baca: Pertama Kali dalam Sejarah, Harga Minyak Anjlok di Bawah US$ 0 / Barel)
Harga minyak WTI yang berada pada area negatif berarti produsen mau membayar untuk bisa melepas stok minyaknya. Sebab, sumur-sumur minyak tidak bisa dimatikan dan diaktifkan kembali dengan mudah. Hal itu membutuhkan biaya besar. Sedangkan penampungan minyak penuh. Pedagang dikabarkan menyewa kapal untuk menampung kelebihan minyak.
Per April, Dana Moneter Internasional atau IMF merevisi turun perkiraan rata-rata harga minyak Brent, dari US$ 58,03 per barel menjadi US$ 35,61 per barel untuk 2020. Sedangkan untuk 2021, proyeksi turun dari US$ 55,31 per barel menjadi US$ 37,87 per barel.
Kejatuhan Harga Minyak Saat Krisis
Kejatuhan tajam harga minyak mentah dunia juga terjadi setelah krisis ekonomi global 2008 dan saat krisis finansial Asia 1998. Secara garis besar masalahnya sama yaitu kelebihan pasokan minyak global dan turunnya permintaan dunia. Produksi minyak OPEC pada 2009, misalnya, meningkat terutama disokong Nigeria seiring membaiknya kondisi keamanan di negara tersebut.
Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak Brent jatuh dari kisaran US$ 18 – US$ 20 per barel pada kuartal terakhir 1997 menjadi US$ 10 pada November 1998. Sedangkan harga minyak amblas ke kisaran US$ 40 per barel pada 2009, setelah melonjak tinggi hingga sempat menyentuh US$ 140 per barel pada 2008. Namun, ketika itu, pemulihan harga cepat terjadi.
Meski kejatuhan harga minyak berarti pukulan berat bagi negara-negara eksportir minyak, namun bagi negara-negara importir minyak termasuk Indonesia kondisi ini bisa menguntungkan. Anggaran untuk subsidi energi lebih ringan. Bagi masyarakat, harga bahan bakar minyak berpotensi lebih murah. Meskipun, pukulan tetap akan terasa karena Indonesia mengekspor minyak, walau jumlahnya lebih kecil dari yang diimpor.
(Baca: Terpukul Harga Minyak, Penerimaan Pajak Kuartal I Turun 2,5%)