Istana Sebut Teror Diskusi UGM Dilakukan Kelompok Partikelir

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan-Pool/hp.
Ilustrasi, Istana Merdeka. Kantor Staf Presiden (KSP) menyebut teror yang dilakukan pada diskusi UGM dilakukan kelompok partikelir yang ingin mengambil hati penguasa.
3/6/2020, 13.53 WIB

Kantor Staf Presiden (KSP) menduga, aksi teror yang dilakukan terhadap acara diskusi Universitas Gadjah Mada (UGM) dilakukan oleh sub kekuasaan partikelir. Pelaku melakukan teror dengan tujuan mengambil hati penguasa demi kepentingan tertentu.

Staf Ahli KSP Doni Gahral Adian menegaskan, pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi tidak pernah menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan tertentu. Kekuatan politik pemerintahan sekarang pun dinilai tak sekuat rezim Orde Baru, karena telah memiliki banyak pengawas baik di dalam maupun di luar pemerintahan.

"Saya yakin itu (aksi teror) bukan ulah pemerintahan resmi, tapi itu ulah sub kekuasaan partikelir dan bertujuan untuk mengambil hati pemegang kekuasaan. Tujuannya, untuk mendapatkan reputasi dan mobilisasi politik," kata Doni dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (3/6).

Ia menambahkan, pihak akademisi harus diberi kebebasan akademik tanpa campur tangan dari kekuasaan, agar dapat mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kepentingan bangsa. Pemerintah saat ini pun sangat menghargai proses akademik, sehingga tuduhan-tuduhan negatif terhadap pemerintah kurang tepat.

Tak hanya itu, kekuatan politik pemerintah pasca reformasi telah lebih terkontrol. Sebab, setelah reformasi pengawasan dan keterbukaan pemerintah begitu luas, bahkan partai pendukung pemerintah bisa saja menjadi oposisi dan mengkoreksi kebijakan-kebijakan yang diambil.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menjelaskan, jika pelaku teror diidentifikasi merupakan sub kekuasaan partikelir maka telah terjadi penyelewengan kekuasaan atau abuse of power.

Pasalnya, dalam ilmu hukum tata negara tidak dikenal adanya sub kekuasaan partikelir. Artinya, hal ini menunjukkan adanya perpecahan dalam tubuh pemerintahan saat ini.

(Baca: Mahfud Minta Polisi Usut Pelaku Teror Panitia Diskusi UGM)

"Kalau yang terjadi demikian malah mengerikan, karena yang dihadapi oleh rakyat bukan hanya represivitas baik dari aparat atau kelompok intoleran. Melainkan juga pembangkangan yang dilakukan oleh kekuasaan partikelir di dalam nadi kekuasaan yang riil itu sendiri," kata Julius.

Seperti diketahui, acara diskusi yang diselenggarakan oleh UGM bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' mendapat teror dari sejumlah pihak. Diskusi yang rencananya digelar oleh CLS Fakultas Hukum UGM tersebut mendapatkan pelarangan dari sejumlah pihak.

Tak hanya itu, panitia, moderator, hingga pembicara juga mendapatkan teror. Dekan FH UGM Sigit Riyanto mengatakan, teror tersebut diterima melalui pengiriman pesanan ojek online serta ancaman pembunuhan, baik melalui pesan tertulis dan telepon.

"Hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka," kata Sigit dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/5).

Selain itu, teror juga menyasar anggota keluarga para panitia penyelenggara diskusi, yang dilakukan dengan meretas nomor telepon dan akun media sosial panitia sempat diretas pada 29 Mei 2020.

“Peretas juga menyalahgunakan akun media sosial yang diretas untuk menyatakan pembatalan kegiatan diskusi, sekaligus mengeluarkan semua peserta diskusi yang telah masuk ke dalam grup diskusi," kata Sigit.

Lantaran banyak mendapatkan pelarangan dan intimidasi, panitia akhirnya membatalkan gelaran diskusi tersebut. Padahal, Sigit menilai kegiatan tersebut murni inisiatif mahasiswa untuk berdiskusi ilmiah sesuai minat dan konsentrasi keilmuan mereka.

(Baca: Forum Pemred Desak Kepolisian Proses Pelaku Teror Wartawan Detik.com)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto