Oligarki Diramal Bakal Menguat dalam Pilkada 2020

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Ilustrasi, simulasi pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pengamat menilai oligarki berpotensi menguat dalam perhelatan Pilkada 2020.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
29/7/2020, 19.47 WIB

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai oligarki berpotensi menguat dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun ini.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, ada beberapa faktor yang mendasari penilaian potensi peningkatan oligarki dalam Pilkada 2020. Pertama, proses pencalonan kepala daerah oleh partai politik makin elitis dan tertutup.

Sementara, akses masyarakat untuk ikut mengawasi proses semakin sulit, karena Pilkada 2020 digelar di tengah suasana pandemi virus corona atau Covid-19.

“Publik disuruh jaga jarak dan sebagainya, memang bagus karena untuk kesehatan dan proteksi dari paparan Covid-19. Tapi, di sisi lain aktivitas partai makin jauh dari prosedur yang demokratis dan terbuka,” kata Titi, dalam sebuah forum diskusi virtual, Rabu (29/7).

Keberadaan calon tunggal juga dinilai menjadi faktor yang membuat oligarki menguat dalam Pilkada 2020. Titi mencatat ada 20 daerah yang punya potensi calon tunggal dalam pesta demokrasi tahun ini.

Selain itu, gejala politik dinasti juga menguat dalam Pilkada 2020. Ini dapat tergambarkan dari banyaknya kerabat dari lingkar Istana yang maju di Pilkada 2020.

Sebagai contoh, putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka bakal bertarung dalam Pilkada Solo 2020. Ada pula putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah yang akan melaju sebagai calon Wali Kota Tangerang Selatan.

Kemudian, anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, yakni Hanindito Himawan Pramono yang maju di Pilkada Kediri 2020. Lalu, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Saraswati Djojohadikusumo yang akan melaju sebagai calon wakil Wali Kota Tangerang Selatan.

“Kemudian ada 224 petahana yang akan maju kembali di Pilkada 2020 dan ini disikapi dengan pragmatisme politik. Salah satu contohnya adalah politisasi program penanganan Covid-19 dan bantuan sosial,” kata Titi.

Ia pun menilai, penggunaan media digital yang bakal semakin marak saat Pilkada 2020 bisa menguatkan potensi oligarki. Pasalnya, media digital bisa mendorong hegemoni politik identitas, dan politisasi SARA ketika Pilkada 2020 berlangsung.

Menurut Titi, oligarki ini berbahaya karena bisa merusak demokrasi yang selama ini dianut Indonesia. Selain itu, oligarki akan membuat kesetaraan gender dalam politik berjalan lambat.

“Ruang nominasi oleh partai itu menghambat kehadiran anak muda, dan perempuan untuk masuk ke kontestasi politik,” ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Banjarmasin, Muhammad Uhaib As'ad menilai, oligarki dapat membuat tingkat korupsi di Indonesia menjadi semakin tinggi.

Sebab, pencalonan kepala daerah dalam oligarki biasanya diikuti oleh kepentingan ekonomi, yang berujung pada politik transaksional antara politisi dan pengusaha.

“Ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Contohnya yang baru-baru ini tertangkap tangan, yakni Bupati Kutai Timur di Kalimantan Timur (Ismunandar),” kata Uhaib.

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Hairansyah menilai, oligarki berpotensi menimbulkan sejumlah pelanggaraan HAM. Pernyataan ini merujuk pada banyaknya laporan kasus pelanggaran HAM, yang ternyata berpangkal kepada persoalan oligarki di daerah.

“Kasus-kasus konflik agraria, sumber daya alam, lingkungan hidup, konflik-konflik masyarakat adat, kelompok rentan, perburuhan, dan sektor tenaga kerja banyak melibatkan pemerintah daerah di dalamnya sebagai pihak yang diadukan,” kata Hariansyah.

Oleh karena itu, ia berharap agar masalah oligarki dalam Pilkada 2020 ini bisa diatasi, dan mekanisme pemilihan politik tahun ini bisa berjalan dengan adil.

Reporter: Dimas Jarot Bayu