Rencana pemerintah menghapus syarat wajib uji cepat (rapid test) dan tes usap PCR bagi calon penumpang maskapai penerbangan dinilai tak tepat. Hal tersebut dinilai bisa meningkatkan kasus virus corona yang hingga kini angka penyebarannya masih tinggi di dalam negeri.
“Itu sangat membahayakan, artinya akan semakin tidak terkontrol laju peningkatan kasus Covid-19,” kata Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman kepada Katadata.co.id, Jumat (7/8).
Dedi mengatakan, persyaratan rapid test dan PCR diperlukan untuk mengawasi penularan corona antarwilayah. Sebab, penularan corona antarwilayah selama ini terindikasi terjadi karena ada mobilitas orang dari satu daerah ke daerah yang lain.
Jika persyaratan tersebut dihapus, maka dia khawatir wilayah yang masuk zona hijau pun bisa terpapar corona. “Kalau konteks mobilisasinya tidak dijaga dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan untuk terpapar Covid-19,” kata Dedi.
Atas dasar itu, Dedi meminta pemerintah untuk membatalkan wacana tersebut. Rapid test dan PCR menurutnya tetap harus diberlakukan hingga situasi pandemi corona di Indonesia bisa terkendali.
“Kalau sistemnya sudah aman, baru bolehlah kita memikirkan menerapkan implementasi kebijakan itu,” kata dia.
Hal senada disampaikan epidemiolog dari dari Griffith University Australia Dicky Budiman. Menurut Dicky, penghapusan persyaratan rapid test dan PCR bagi penumpang pesawat bisa meningkatkan potensi penularan corona.
Meski demikian, Dicky menilai potensi tersebut bisa diminimalisir dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. “Kita harus di sisi lain melakukan peningkatan pada aspek preventif atau perlindungannya,” kata Dicky.
Contohnya, aturan pengetatan protokol jaga jarak antara calon penumpang pesawat oleh petugas bandara. Mereka juga harus bisa menyediakan penyanitasi tangan di berbagai titik bandara.
Di dalam pesawat, pihak maskapai harus bisa mengatur posisi duduk antarpenumpang agar penjagaan jarak bisa diterapkan. "Selain penumpangnya sudah diwajibkan dari tiba di bandara memakai masker dan faceshield," kata Dicky.
Lebih lanjut, ia pun menyarankan setiap perusahaan bisa menjamin pegawainya yang ditugaskan dinas ke luar kota dalam kondisi sehat. Hal tersebut dapat diberlakukan oleh tiap-tiap institusi tanpa menunggu aturan dari pemerintah.
"Akan lebih ideal kalau ada tes dari perusahaan, walau pihak maskapai penerbangan tidak mewajibkan," ujarnya.
Setelah pulang dinas luar kota, perusahaan pun diminta untuk mewajibkan pegawainya bekerja dari rumah selama dua pekan. Selama masa tersebut, Dicky meminta perusahaan bisa memantau kondisi kesehatan pegawainya secara rutin.
Pegawai yang baru pulang dinas luar kota pun dianjurkan menerapkan pola hidup bersih dan sehat selama dua pekan. "Juga melakukan aspek pencegahan lain di rumahnya," katanya.
Sekadar informasi, pemerintah tengah mengkaji penghapusan syarat rapid test dan PCR bagi calon penumpang pesawat. Pengkajian tersebut dilakukan oleh Kementerian Perhubungan bersama dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Hingga hari ini, kasus corona terus mencatat peningkatan. Pemerintah melaporkan kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 2.473 kasus pada Jumat (7/8). Dengan begitu, total kasus di Indonesia menjadi 121.226 kasus.
Dari total kasus tersebut, sebanyak 77.557 orangtelah dinyatakan sembuh (63.98%) dan 5.593 orang meninggal dunia (4.61%), sementara sisanya masih menjalani perawatan.