Presiden Joko Widodo akan memberikan bintang tanda jasa kepada wakil ketua DPR periode 2014 sampai 2019, yaitu Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemberian penghargaan ini dalam rangka hari ulang tahun Proklamasi RI ke-75.
“Fahri Hamzah dan Fadli Zon akan mendapat Bintang Mahaputera Nararya. Teruslah berjuang untuk kebaikan rakyat, bangsa, dan negara,” cuit Mahfud dalam akun Twitter-nya, @mohmahfudmd, Senin (10/8).
Dalam kicauan berikutnya, ia mengatakan pemberian tanda jasa ini telah sesuai peraturan yang berlaku. Mantan ketua atau wakil ketua lembaga negara, mantan menteri, dan yang setingkat mendapatkan penghargaan tersebut usai menjalankan tugasnya dalam satu periode jabatan.
Sebagai informasi, ketika menjabat sebagai wakil ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah sangat vokal mengkritik pemerintahan dan kebijakan Jokowi. Kini, Fadli masih duduk di bangku parlemen mewakili Partai Gerindra. Sementara, Fahri memutuskan keluar dari Partai Keadilan Sejahtera dan membentuk partai baru bernama Partai Gelora Indonesia.
Fahri mengatakan informasi soal penghargaan ini telah ia ketahui dari Sekretariat Jenderal DPR. “Pemberitahuannya sudah disampaikan beberapa bulan lalu,” kata dia, seperti dikutip dari Antara.
Pemberian bintang kehormatan, menurut dia, merupakan suatu tradisi kebangsaan. Bintang Mahaputera Nararya diberikan ketika seseorang telah melengkapi periode masa kepemimpinannya di lembaga negara.
Kabar Fahri dan Fadli bakal menerima penghargaan mendapat sorotan dari warganet di Twitter. Cuitan Mahfud yang mengabarkan informasi tersebut telah dikomentari lebih dari dua ribu akun. Sebagian besar komentarnya bernada negatif.
Menanggapi kritik itu, Mahfud mengatakan yang mendapat bintang Mahaputra pada Agustus ini ada banyak. Hatta Ali, Faruk Mohammad, dan Suhardi Alius termasuk di dalamnya. Begitu pula 22 tenaga medis yang gugur dalam penanganan Covid-19.
“Pemerintah tidak boleh tidak memberikan tanpa alasan hukum. Jika bintang jasa tidak diberikan terhadap orang kritis berarti pemerintah mempolitisasi hak orang secara unfair,” katanya.
Sebelumnya, melansir dari Tempo.co, Jokowi juga pernah memberikan penghargaan serupa untuk para pengusaha, yaitu Sofyan Wanandi, Arifin Panigoro, dan Dato Sri Tahir. Selain itu, Presiden juga memberikannya untuk sastrawan asal Pekanbaru bernama Tengku Nasaruddin Said Effendy.
Apa Itu Tanda Jasa Bintang Mahaputera Nararya?
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009, Bintang Mahaputera Nararya termasuk dalam tanda kehormatan Bintang Mahaputera. Presiden memberikan penghargaan ini kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti terhadap bangsa dan negara.
Tanda kehormatannya dapat berupa Bintang, Satyalancana (berbentuk bundar), dan Samkaryanugraha (berbentuk ular-ular dan patra). Untuk tanda kehormatan bintang diberikan untuk masyarakat sipil dan militer.
Ada tujuh tanda kehormatan bintang sipil, yaitu Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, Bintang Kemanusiaan, Bintang Penegak Demokrasi, Bintang Budaya Parama Dharma, dan Bintang Bhayangkara.
Syarat khusus untuk memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera adalah:
- Berjasa luar biasa di bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara.
- Pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara
- Darmabakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional.
Kewajiban penerima tanda kehormatan tersebut adalah:
- Menjaga nama baik diri dan jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan negara.
- Menjaga dan memelihara simbol dan/atau lencana tanda jasa dan/atau tanda kehormatan.
- Memberikan keteladanan dan menumbuhkan semangat masyarakat untuk berjuang dan berbakti kepada bangsa dan negara.
Penerima Bintang Mahaputera yang Terjerat Kasus Hukum
Dalam akun Twitternya, Mahfud juga menyebut tiga tokoh nasional yang pernah menerima penghargaan tersebut sebelum akhirnya tersandung kasus hukum. Ketiganya adalah Irman Gusman, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik.
Irman Gusman merupakan Wakil Ketua DPR periode 2004 sampai 2009. Ia lalu menjabt Ketua DPD periode 2009 sampai 2016 dan terpidana kasus suap pembelian gula impor di Perum Bulog. Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali pada 2019 menyatakan Irman terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Ia terbukti menerima suap sebesar Rp 200 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandi Sutanto dan istrinya, Memi. MA memvonis Irman hukuman penjara menjadi tiga tahun dan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan.
Majelis hakim juga menambah hukumannya dengan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani pidana pokok.
Vonis pidana itu lebih rendah dari putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu empat tahun dan enam bulan penjara. Pada 27 September 2019, Irman resmi bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Lalu, Suryadharma Ali merupakan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil (2004 sampai 2009) dan Menteri Agama (2009-2014). Pada Februari 2007, ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, menggantikan Hamzah Haz.
Mendekati akhir jabatannya sebagai Menteri Agama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Suryadharma sebagai tersangka kasus dana haji. Ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp 27 miliar.
Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Di tingkat banding, masa hukumannya diperberat menjadi sepuluh tahun penjara serta pencabutan hak politik selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok.
Pada April 2019, Mahkamah Agung menolak upaya peninjauan kembali Suryadharma. Ia tetap divonis sepuluh tahun penjara terkait kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji.
Terakhir, Jero Wacik. Mantan politikus Partai Demokrat ini pernah menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada 2004 sampai 2011. Di tengah periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Jero kemudian ditunjuk menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pada 3 September 2014, KPK menetapkan Jero sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan dana operasional menteri atau DOM di Kementerian ESDM. Ketua KPK Abraham Samad ketika itu pernah menyebut komisinya menemukan indikasi penyalahgunaan kekuasaan di Kementerian ESDM.
Jero melakukan peningkatan anggaran DOM dengan mengambil dana sisa kegiatan di lingkungan Kementerian, mengumpulkan dana dari rekanan, atau mengadakan rapat fiktif. Uang tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Total kerugian negara dari tindakannya mencapai Rp 9,9 miliar. Pada 2019, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali Jero. Hukumannya tetap delapan tahun penjara.