Suka Duka Pasien Covid-19 di Wisma Atlet: Dukungan Psikologis Penting

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.
Wisma Atlet menjadi tempat karantina pasien Covid-19 di Kemayoran, Jakarta, Rabu (18/3/2020).
Penulis: Yuliawati
18/10/2020, 15.08 WIB

Perjalanan dari Puskesmas di kawasan Palmerah, Jakarta Barat menuju Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet pada Jumat malam, 25 September 2020 itu hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Namun, bagi Triani perjalanan tersebut terasa sungguh lama.

Perempuan berusia 27 tahun itu merasa cemas dan khawatir dengan keadaannya yang positif terinfeksi Covid-19 dan terpaksa menjalani perawatan di Wisma Atlet mulai malam itu. Dia tak menyangka bisa terinfeksi virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok.

Sejak virus itu masuk ke Indonesia, Triani sudah berusaha maksimal menerapkan protokol kesehatan. Bila keluar rumah, dia selalu patuh mengenakan masker dan berjaga jarak. Dia pun rajin menjaga asupan makanan dan kondisi fisik untuk memperkuat imunitasnya.

Triani --bukan nama sebenarnya-- juga membatasi ruang geraknya dengan melakukan hampir seluruh aktivitas dari kost, tempat yang dianggapnya paling aman dari serangan virus.

Ternyata, dari tempat yang menjadi benteng perlindungan selama tujuh bulan terakhir itu, Triani malah tertular Covid-19. Awalnya dia mendapat kabar dua kawan dekatnya yang tinggal satu kost terinfeksi Covid-19. Kabar itu memberikan sinyal bahaya, Triani pun berinisiatif menjalani tes swab pada Senin 21 September meski tanpa gejala sakit apapun.

Triani mengingat dia pernah berkomunikasi dengan dua kawan kostnya itu ketika berada di dapur dan tanpa mengenakan masker. "Aku melakukan kontak dengan keduanya saat bertemu di fasilitas kost yang kami gunakan bersama seperti dapur ataupun pantry," kata Triani yang bekerja di sebuah perusahaan riset di Jakarta.

Tiga hari setelah tes swab, petugas Puskesmas memberitahukan kabar dirinya yang positif Covid-19. Petugas merekomendasikannya menjalani isolasi mandiri di Wisma Atlet dan mengurus pendaftaran. Triani hanya menyerahkan beberapa dokumen digital seperti KTP, Kartu Keluarga, Nomor Kartu Indonesia Sehat (BPJS Kesehatan).

Petugas juga membantu mendapatkan Surat Keterangan domisili dengan berkoordinasi petugas RT/RW. "Aku bersyukur, segala persyaratan terpenuhi di hari itu juga. Di titik ini, aku merasa sistem koordinasi puskesmas di wilayahku sudah berjalan," kata dia.

Petugas Puskesmas juga mengantar Triani dan pasien lainnya hingga ke bagian pendaftaran Wisma Atlet. "Setelah itu mereka pulang, tak lupa menyapa para pasien yang diantar, memberi semangat, dan mendoakan kami para positif agar segera pulih," kata Triani.

Sesaat tiba di Wisma Atlet, seorang dokter mendekati dan menanyakan riwayat sakitnya. Triani menjelaskan dia sempat demam satu hari, tapi kemudian sembuh setelah minum parasetamol. Dia juga sempat sekali mengalami sedikit nyeri tenggorokan di pagi hari, juga nyeri di ulu hati. "Selebihnya, aku menjelaskan tidak mengalami gejala apapun. Tidak batuk pilek dan indera penciuman juga masih berfungsi," kata Triani.  

Selanjutnya Triani menunggu antrian proses pendaftaran. Selama menunggu itu dia melihat banyak pasien Covid-19 dengan latar belakang berbeda. Dia melihat bayi kembar berumur dua bulan yang digendong orangtuanya. Ada juga sepasang lansia yang dipapah cucunya. "Ada pula yang lengkap sekeluarga tiga generasi terinfeksi," kata  dia.


Triani perlu menunggu selama lima jam hingga dia akhirnya menempati sebuah kamar flat di lantai 24, lantai tertinggi di Tower 6. Satu flat Wisma Atlet itu diperuntukkan bagi dua orang pasien. Masing-masing mendapat satu kamar — ada kamar dengan satu kasur dan kamar dengan dua kasur. Adapun satu kamar mandi digunakan bersama.

Sebelum berangkat ke Wisma Atlet, Triani sudah mempersiapkan segala kebutuhannya, bukan hanya sanitasi pribadi tapi juga perlengkapan untuk membersihkan pakaian dan flat. Dari informasi teman yang pernah menginap di Wisma Atlet, pasien positif Covid-19 dengan tanpa gejala (OTG) hingga gejala ringan dianggap mampu mengurus dirinya sendiri selama masa karantina, termasuk dalam membersihkan flat dan mencuci pakaian.

Tak ada petugas cleaning service yang membersihkan kamar flat dan tanggung jawab kebersihan berada pada masing-masing peserta karantina. Sehingga Triani pun membawa perlengkapan sanitasi kamar yang lumayan komplet seperti deterjen, sabun cuci piring, ember, sapu, pel, sikat kamar mandi, dan pembersih lantai.

Dengan perlengkapan itu, Triani dapat membersihkan kamar sebaik-baiknya sehingga dia membuatnya lebih nyaman. Sebelum dia tempati, kamar dalam keadaan kotor. "Petugas cleaning service hanya membersihkan bagian luar kamar. Dan memang tanggung jawab kebersihan kamar ada pada masing-masing pasien karantina," kata dia.

Kamar yang ditempati Triani selama di Wisma Atlet (Katadata/Dok. Istimewa).

Berbeda dengan Triani, kondisi kamar Wisma Atlet yang kotor membuat Bonar Sinaga (38) memilih menjalani isolasi di tempat lain. Bonar hanya bertahan sehari menginap di Wisma Atlet pada pertengahan September lalu.

Penyebab utamanya, pendingin udara atau air conditioner di kamar Bonar dalam kondisi sangat kotor. Bonar menunjukkan fotonya, tampak bagian ventilasi AC menghitam diselimuti debu. “Saya khawatir AC yang kotor sekali, tapi bila tak dihidupkan saya susah tidur. Akhirnya saya terkena batuk,” kata dia.

Bonar juga mengkritik pemberian obat berupa Modified Zelenko Protocol terdiri dari Tamiflu, Chloroquine, Azithromicin. Padahal Protokol Zelenko terdiri dari Hydroxychloroquine, Azithromicin, dan Zinc Sulfat. Protokol Zelenko merupakan pengobatan yang diterapkan dokter Zelenko di Amerika Serikat.

Penggunaan Zinc untuk mencegah replikasi virus dan mempersulit masuk ke dalam sel. Selain mempertanyakan obat yang tak sesuai protokol Zelenko asli, obat-obatan yang diberikan justru memberikan efek samping yang membuatnya terus menerus muntah. “Saya tak bisa melakukan apa pun,” kata dia. Merasa kurang nyaman di Wisma Atlet, Bonar pun memilih keluar dari Wisma Atlet dan mencari hotel untuk isolasi mandiri.

Menjalani Masa Perawatan 10 Hari

Triani menjalani masa perawatan 10 hari di Wisma Atlet. Selama masa perawatan, kegiatan utama pemeriksaan kesehatan, makan, minum obat dan berolah raga. "Tugas (utama) para pasien istirahat, merawat diri, mengikuti proses pengobatan, dan berusaha meningkatkan imunitas," kata dia.

Selama menjalani isolasi itu, Triani jarang bertemu dengan perawat dan dokter. Dia memperkirakan di tiap lantai terdapat satu orang dokter dan tiga perawat tiap shift kerja. "Dokter hanya menemui pasien dalam kondisi khusus saja," kata dia.

Komunikasi intensif antara pasien dan dokter atau perawat melalui Whatsapp Group. Lewat jalur komunikasi Whatsapp itu pula petugas memantau sekaligus memberikan panduan kegiatan, terutama soal pemeriksaan kesehatan.

Ada beberapa kegiatan pemeriksaan kesehatan seperti pengambilan sampel darah untuk uji laboratorium; cek tekanan darah; tes kadar oksigen dalam darah; rekam jantung 1 jam sebelum minum obat dan 4 jam setelah minum obat, 3 hari setelah minum obat, dan 7 hari setelah minum obat;  rontgen toraks; dan swab test sebagai rangkaian pemeriksaan terakhir.

Pasien juga mendapatkan obat yang disesuaikan dengan kondisi dan gejalanya masing-masing. Komposisinya biasa berupa obat untuk mengobati gejala dilengkapi dengan vitamin. Triani mendapat obat yang biasanya juga diresepkan untuk pasien malaria, obat antivirus, antibiotik, obat lambung, dan vitamin.


Efek obat ini bermacam-macam tergantung daya tahan tubuh dan gejala yang dialami pasien. "Efek bisa berupa pusing, mual, telinga berdenging, hingga gangguan cemas," kata Triani.

Untuk makanan, Triani menilai asupan makanan yang diterimanya bergizi dan sangat layak. Tiap pasien mendapat makanan sebanyak tiga kali sehari yang menunya terdiri dari nasi, lauk, sayur, dan buah. Selain itu ada tambahan makanan kecil yang diberikan dalam rentang pukul 08.00–09.00.

Setiap jam makan, nasi dan lauk yang dikemas dalam kotak disediakan di depan ruang perawat. "Saat sudah waktunya makan dan minum obat, perawat yang berjaga akan menginfokan ke seluruh pasien melalui Whatsapp Group," kata dia.

Makanan juga disesuaikan dengan jenis diet pasien, misalnya penderita diabetes akan mendapat makanan rendah gula di antaranya mendapat nasi merah. Makanan khusus tersebut ditandai dengan kotak warna hijau. Adapun pasien tanpa diet khusus mendapat kotak putih.

Kegiatan yang sangat dianjurkan semasa karantina bagi para pasien OTG maupun gejala ringan adalah olahraga dan berjemur. Dua kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Biasanya, seluruh area terbuka di wisma akan ramai oleh pasien pada rentang 08.00–10.00. "Tentu tetap dengan menjaga protokol social distancing dan tetap memakai masker," kata dia.

Selain pengobatan fisik, RSDC Wisma Atlet juga menyediakan pendampingan psikologis baik secara online maupun tatap muka. Triani menilai pendampingan psikologis ini tidak kalah penting dengan pengobatan medis karena kondisi mental yang sehat dan stabil akan membentuk imunitas yang kuat.

"Dukungan psikologis ini adalah salah satu hal yang paling bermanfaat buatku selama menjalani pengobatan," kata dia.

Pada hari ke-8 di Wisma Atlet, Triani menjalani tes swab. Pemeriksaan ini menentukan nasib pasien.  Jika negatif, pasien boleh pulang. Adapun jika masih positif, masa karantina dilanjutkan dan pasien belum diizinkan pulang.

Triani menerima kabar hasil tes swab pada 5 Oktober 2020 bersama sepuluh orang pasien lain. Di ruang perawat, seorang dokter dengan membawa setumpuk dokumen mengumumkan bahwa hasil tes swab mereka negatif dan mereka diizinkan pulang.

Namun, proses kepulangan membutuhkan waktu satu hari untuk persiapan rekam medis dan surat keterangan karantina. "Bisa pulang ke tempat tinggal masing-masing dan berkumpul dengan keluarga adalah keberkahan bagi setiap pasien karantina," kata Triani.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan