Pengusaha Tawarkan Model Baru Kemitraan Hulu ke Hilir Produksi Pangan

ANTARA FOTO/Syaiful Arif/foc.
Petani memindahkan bibit cabai yang sudah siap jual di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (15/7/2020).
13/11/2020, 20.41 WIB

Pengusaha berupaya memacu produksi tanaman pangan sekaligus mengurangi ketergantungan impor komoditas perkebunan. Salah satu metode yang diterapkan adalah sistem inclusive close loop, yaitu model kerja sama kemitraan terintegrasi dengan sistem tertutup.

Model ini digagas oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan merupakan skema kemitraan dari hulu-hilir sehingga keberlanjutan produksi terjaga dan petani sejahtera. Model kemitraan ini juga bertujuan untuk meningkatkan akses petani terhadap pasar.

Ketua Komite Tetap Hortikultura Kadin Indonesia Karen Tambayong menjelaskan, sistem ini bisa dilakukan dengan kolaborasi pemerintah, swasta dan petani. Salah satu modelnya bisa dilakukan melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dengan sistem kemitraan terintegrasi ini.

"Pemerintah bisa kolaborasi dengan swasta dan petani. Sedangkan swasta juga tidak bisa bergerak tanpa petani," kata Karen dalam konferensi pers acara Jakarta Food Security Summit (JFSS) kelima, Jumat (13/11).

Dari data Kadin, model inclusive close loop ini melibatkan empat pihak yang saling terkait yakni korporasi, perbankan, koperasi, dan pemerintah. Perusahaan bertugas mencari pendanaan maupun lelang dengan jaminan pembelian hasil panen.

Bank akan menyiapkan fasilitas pendanaan melalui koperasi dengan bunga menarik. Selain itu mereka bisa menyediakan asuransi sebagai perlindungan petani dari risiko gagal panen. Koperasi dalam hal ini mencairkan pinjaman kredit bank untuk petani.

Sedangkan pemerintah akan melakukan pendampingan petani baik dari benih, pupuk, mekanisasi, serta teknologi. Regulator juga memastikan ketersediaan lahan, sertifikasi, hingga penyediaan infrastruktur. "Kuncinya adalah koperasi, tanpa itu tidak bisa (berjalan)," kata Karen.

Ia berharap langkah tersebut bisa menjadi cara untuk mengurangi impor berbagai komoditas tanaman perkebunan. Dari data Kementerian Pertanian, pada 2019, RI masih mengimpor 472.922 ton bawang putih senilai US$ 547 juta. Sedangkan komoditas cabai yang diimpor mencapai 45.092 ton senilai US$ 74,9 juta.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis, Pangan dan Kehutanan, Franky Oesman Widjaja mengatakan, model ini pernah dilakukan Sinarmas bersama Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro). Hasilnya, mereka berhasil memberikan pendampingan kepada lebih dari 1 juta petani yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dengan pendampingan, petani mampu meningkatan produktivitas yang pada akhirnya menambah pendapatan mereka. Selain itu kerja sama tidak hanya dilakukan petani sawit, melainkan palawija seperti padi dan jagung. “Kami bertekad meningkatkan pendampingan menjadi dua juta petani pada 2023,” ujar Franky.

Menurut Franky, peningkatan produktivitas para petani dan mencapai ketahanan pangan tidaklah mudah karena ada sejumlah kendala yang harus dihadapi. Beberapa kendala antara lain ketersediaan lahan, benih, pupuk, pembiayaan, irigasi, hingga pemasaran.

Namun, bos Sinarmas itu optimis kendala dapat diatasi dengan mengembangkan pola kemitraan dalam rantai pasok terintegrasi seperti inclusive close loop ini. Dengan sistem ini, petani akan mendapatkan empat hal yakni akses bibit dan pupuk, praktik pertanian mumpuni, kemudahan pendanaan, dan jaminan pembelian hasil tanam (off take).

Keberadaan off taker tersebut tidak hanya memberi pendampingan, tetapi juga memberi jaminan pembelian atas hasil produksi dengan harga pasar. “Inclusive closed loop sudah berhasil diterapkan di komoditas sawit dan sudah mulai diikuti oleh komoditas lainnya,” ujar Franky.

Model bisnis ini juga akan disampaikan pada acara Jakarta Food Security Summit (JFSS) kelima yang akan digelar pada 18 dan 19 November mendatang. Acara yang rencananya dibuka Presiden Joko Widodo ini bertema 'Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Gizi, Serta Meningkatkan Kesejahteraan Petani, Peternak, Nelayan, dan Industri'.

Ketua Pelaksana JFSS kelima Juan Permata Adoe mengatakan pertimbangan tema ini lantaran sektor pangan relatif tak terdampak pandemi Covid-19 yang telah memukul ekonomi dunia termasuk RI. Meski demikian, kondisi ini memerlukan pasokan pangan yang terjaga demi stabilitas.

"Karena dampak paling nyata dari resesi adalah meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan," kata Juan.  

Di kesempatan berbeda, Deputi Bidang Kordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan kondisi ketahanan pangan RI sebenarnya terus membaik dibandingkan beberapa tahun lalu. Meski demikian, perlu strategi berkelanjutan demi mempertahankan pencapaian ini. 

“Peringkat ketahanan pangan Indonesia terus membaik. Pada tahun 2014 kita berada di posisi 72, sedangkan tahun 2019 peringkat 62,” ujar  dalam Webinar Menguatkan Sistem Pangan Nasional (13/11).

Reporter: Rizky Alika, Annisa Rizky Fadila