Presiden Joko Widodo telah meminta agar dilakukan pemangkasan cuti bersama pada akhir tahun. Namun, hingga sepekan berlalu, para Menteri terkait belum juga mengumumkan kepastian terkait pemangkasan cuti bersama tersebut.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan, arahan Presiden Joko Widodo tersebut harus dilaksanakan. "Intinya, petunjuk Presiden harus dilaksanakan," kata Moeldoko di Kompleks Istana, Selasa (1/12).
Keputusan tersebut akan dirapatkan terlebih dahulu di Istana pada Selasa sore ini. Menurutnya, rapat akan dilakukan bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Nantinya, para menteri juga akan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pemotongan cuti bersama tersebut.
Moeldoko mengatakan, pemotongan libur akhir tahun tersebut akan menjadi kesadaran bersama lantaran libur panjang pada beberapa waktu yang lalu telah berkontribusi pada peningkatan kasus Covid-19. Pemerintah pun tidak ingin ada klaster baru penularan virus corona.
"Ini juga mereferensi berbagai hal yang terjadi di luar. Berdasarkan referensi itu kita lebih hati-hati ke depan," ujar dia.
Berikut adalah Databoks peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia. Di mana, terjadi kenaikan pasien setelah libur panjang akhir pekan pada Oktober lalu:
Sebelumnya, pemerintah memutuskan cuti bersama hari raya Natal akan tersambung dengan cuti Idul Fitri yang dipindahkan dari Mei 2020. Cuti Natal adalah hari Kamis, 24 Desember 2020, sedangkan Natal jatuh pada Jumat, 25 Desember 2020. Sementara, cuti pengganti bersama hari raya Idul Fitri jatuh pada 28, 29, 30, dan 31 Desember 2020 dan 1 Januari 2021. Jika ditotal, maka jumlah cuti dan libur akhir pekan pada periode tersebut mencapai sebelas hari.
Muhadjir pun menggelar rapat tingkat menteri pada Rabu (25/11), lalu Jumat pekan lalu (27/11). Namun, belum ada keputusan terkait hal tersebut sehingga rapat dilanjutkan pada Senin (30/11).
Meski begitu, pemangkasan cuti bersama akhir tahun menimbulkan pro dan kontra. Keputusan Jokowi itu mendapatkan dukungan dari pihak pengusaha.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Johnny Darmawan menjelaskan swasta acapkali menanggung beban lebih besar lantaran harus membayar biaya lembur kepada pegawainya saat cuti panjang.
Di sisi lain, libur yang terlalu lama dinilai tidak baik bagi perusahaan tertentu lantaran mesin produksi harus beroperasi selama 24 jam. "Jadi bagus kalau cuti bersama dikurangi," kata Johnny saat dihubungi Katadata, Selasa (24/11).
Johnny pun menilai, Indonesia termasuk negara yang paling banyak memiliki hari libur nasional maupun keagamaan. Padahal, peningkatan produktivitas dapat dilakukan bila jam kerja di dalam negeri tidak lebih rendah dibandingkan negara lainnya.
Tak hanya itu, jam kerja yang lebih banyak dinilai dapat membantu pengusaha untuk mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain. Johnny juga khawatir aktivitas manufaktur akan kembali menurun lantaran hari kerja yang lebih sedikit pada bulan Desember.
Apalagi menurutnya, kegiatan ekonomi kembali pulih sepanjang Agustus hingga November ini. Ia memastikan, secara umum perubahan jumlah cuti bersama ini tidak akan mengganggu rencana kerja swasta.
"Kalau ada pengusaha yang melakukan perencanaan setahun, perubahan dadakan menjadi tidak mudah. Tapi lebih baik dikurangi liburnya daripada tidak," kata mantan Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor tersebut.
Harapan berbeda akan libur panjang di akhir tahun datang dari para pelaku usaha wisata. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, wisatawan domestik umumnya akan meningkat saat libur Lebaran, libur sekolah, serta libur Natal dan tahun baru.
"Jadi harapan kami bisa jadi pupus. Masuk Januari sudah low season lagi," kata Maulana saat dihubungi Katadata, Kamis (26/11).
Menurutnya, okupansi hotel selama sembilan bulan belakangan sudah rendah. Dia khawatir jika cuti bersama dipangkas, kondisi ini akan berlanjut hingga Januari bahkan April 2021.
Oleh karena itu, ia khawatir pengusaha hotel yang dapat bertahan selama pandemi ini jumlahnya tidak besar. Maulana pun menyebutkan, lonjakan okupansi kerap terjadi saat libur panjang.
Bercermin pada libur panjang saat Agustus dan Oktober lalu, okupansi hotel mengalami peningkatan sebesar 5% dari rata-rata tingkat keterisian. Meski demikian, pengusaha menganggap kenaikan tersebut dinilai kecil.
Sebagai perbandingan, sepanjang 2019 lalu, tingkat okupansi hotel yang paling rendah hanya sebesar 40%. "Itu pun hanya berlangsung satu bulan," ujar Maulana.
Dengan kondisi tersebut, dia khawatir Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan dapat kembali meningkat. Hal ini disebabkan karena rendahnya okupansi yang berlangsung dalam jangka waktu lama.