Hutan Adat, Mandat Menjaga ‘Rimbo’ Jambi

KKI-Warsi
Foto Udara Hutan Adat Masyarakat Rantai Kermas
Penulis: Arie Mega Prastiwi - Tim Riset dan Publikasi
15/12/2020, 19.30 WIB

Hulu Aik, Tanah Ngarai, Tanah Ajum, dan Tanah Arah. Demikian istilah pembagian tanah sesuai manfaat yang secara turun temurun diterapkan oleh masyarakat adat Serampas Hutan Adat Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Merangin Jambi. Pembagian ini meliputi kawasan mana yang boleh dibuka untuk pemukiman dan ladang. 

Untuk pemukiman  disebut Tanah Ajum.  Sedangkan Tanah Arah, hanya untuk berkebun atau berladang. Sementara Hulu Aik dan Tanah Ngarai adalah wilayah lindung dan wilayah yang tak boleh diolah, karena merupakan sumber mata air dan lereng curam.

Masyarakat adat Serampas tersebar di lima desa, yaitu Desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas dan Desa Renah Kemumu. Kelima desa ini  memegang teguh nilai-nilai adat sejak nenek moyang mereka. Menjaga hutan dengan kearifan turun temurun. 

Hutan Adat Rantau Kermas adalah salah satu dari 27 hutan adat di Jambi. Menurut Prasetyo Nugroho, Kasubdit Hutan Adat dan Masyarakat Adat Kementerian LHK, hingga 2019, kementerian menetapkan 65 unit hutan adat di Indonesia dengan total luas mencapai 35.150 ha. Di Sumatera, memiliki paling banyak Hutan Adat yang telah ditetapkan, yaitu 41 unit.

“Jambi menjadi paling banyak hutan adat. Ada 27 jumlahnya,” kata Prasetyo dalam webinar “Belajar Kemandirian Sosial dari Masyarakat Adat dan Kepercayaan Lokal” yang diadakan oleh lembaga Satunama beberapa waktu lalu.

Dengan Jambi menjadi Hutan Adat terbanyak, ini sejalan dengan perhitungan indeks Perhutanan Sosial yang dilakukan Katadata Insight Center beberapa lalu.  Nilai indeks tertinggi di kategori Hutan Adat mencapai 52,5. Ini melebihi median nasional yaitu 31,8. Catatan indeks menunjukkan, SK Hutan Adat di Jambi mencatat 28 SK.

Sementara itu, rasio persetujuan izin hutan adat di Jambi 40%. Angka ini tertinggi dibandingkan provinsi lain. Selain itu, hutan adat di Jambi juga memiliki 38 potensi komoditas terbanyak di kategori skema ini.

Bagi masyarakat adat, terutama di Jambi, hutan adalah sumber kehidupan, tempat bergantung hidup sekaligus bertuah dan harus dijaga berdasarkan nilai kearifan adat. Secara turun temurun, mereka menjaga hutan dari para perambah yang ingin mengubah fungsu hutan menjadi kebun kopi.

Pemerintah Provinsi Jambi pun memegang mandat itu dengan memberikan ketetetapan hukum. Mengutip publikasi Warsi, pada 1990-an pemda setempat dalam hal ini bupati mengakui hak kelola masyarakat dengan skema hutan adat di sejumla kabupaten seperti Kerinci, Bungo, Merangin dan Sarolangun.

“Bupati Kerinci merupakan pemda pertama yang memberikan pengakukan terhadap Hutan Adat Temedak Keluru pada 1994,”tulis publikasi itu.

Belakangan, Pemerintah Provinsi Jambi juga melakukan beragam upaya untuk mendorong keberhasilan implementasi Perhutanan Sosial, khususnya skema Hutan Adat. Mulai dari dukungan regulasi melalui Pergub No. 37 Tahun 2016, RPJMD yang membahas program Perhutanan Sosial, serta menyediakan anggaran untuk implementasi Hutan Adat. Pemerintah tingkat kabupaten juga mengeluarkan Perda pengakuan Hutan Adat.

Adapun Hutan Adat  Rantau Kermas yang seluas 130 hektar,  diberi pengukuhan dari Kementarian LHK lewat Surat Keputusan Nomor 6745/MENLHK-PSKL/KUM-1/12/2016. Setelah sebelumya mendapat pengukuhan legalitas dari Bupati Merangin tahun 2015.

“Hutan adat penting bagi kami. Kami terjaga dari bencana karena keberadaan hutan adat ini. Tanpa lahan, tanpa hutan, kita tidak bisa menjaga kelangsungan hidup anak cucu kita nanti,” kata Kepala Desa Rantau Kermas, Hasan Apd, seperti dikutip dari Mongabay.

Diganjar Kalpataru

Pengakuan hutan adat bagi masyarakat adat memberikan legalitas dalam hal menjaga amanat leluhur untuk menjaga kelestarian alam. Tak hanya itu, masyarakat adat pun dapat mengelola alam bagi kesejahteraan mereka.

“Secara turun temurun, nenek moyang kami melarang penebangan hutan  yang menjadi hulu sungai dan sumber mata air,” kata Hasan.

Dengan kearifan lokal tersebut, masyarakat adat pun mendapat manfaat bagi mereka, khususnya ekonomi.  Hutan Adat Rantai Kermas menikmati listrik dari pembangkit listrik bertenaga mikro hidro (PLTMH). Hutan menjadi urat nadi bagi sumber air dan menjamin debit air stabil dan cukup.

Agar urat nadi itu tak terluka dan komitmen menjaga hutan berlangsung, masyarakat adat Serampas pun membuat  sanksi adat yang diberikan kepada siapapun yang melanggar aturan. Sanksi berupa denda beras, kambing seekor dan uang sebesar Rp 500 ribu. Aturan ini dipatuhi oleh semua masyarakat.

Sungai Rantau Kermas di Hutan Adat Rantau Kermas Jambi (KKI-Warsi)

Dalam hal menjaga hutan, menurut Rudy Syaf, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia, Warsi, masyarakat Rantau Kermas menarik. “Mereka berhasil diversivikasi hutan dengan usaha-usaha yang menarik keuntungan tapi sekaligus menjaga hutan,” kata Rudy kepada tim riset Katadata.

Selain mengembangkan sumber air, Rudy menjelaskan masyarakat adat Rantau Kermas membuat pengelolaan pengasuhan pohon. Ini merupakan inisiatif KKI Warsi melibatkan publik untuk mengelola hutan.

“Caranya, siapa saja yang ingin mengasuh pohon, dengan mengirimkan donasi pohon asuh sebesar Rp 200 ribu per pohon,” ucap Rudy. Sejauh ini, sudah ada 980 pohon asuh dan mereka mendapatkan uang sebesar Rp 200 juta per tahun. Pohon yang diasuh merupakan pohon hutan besar dengan diameter 60cm. Fungsi dari program ini, selain melibatkan masyakarat, dapat bermanfaat bagi  kehidupan sosial masyarakat adat, seperti pemberian beasiswa kepada anak kurang mampu, memperbaiki sarana publik dan lainnya.

Selain itu, produksi hutan adat juga bermanfaat bagi masyarakat. Hutan Adat Rantai Kermas terkenal dengan penghasil kopi robusta premium. Masyarakat menanam kopi bukan karena dorongan pasar, melainkan adat turun temurun. Mereka juga menanam kayu manis, sebagai tanaman pelindung kopi dan difersivikasi.  

Dengan kemandirian pengelolaan hutan secara lokal, itulah yang membawa Hutan Adat Rantai Kermas diganjar penghargaan Kalpataru  kategori penyelamat lingkungan pada 2019.

“Nilai-nilai adat kami terapkan selama turun-temurun demi menghindari bencana, ternyata kini berbuah penghargaan. Ini menjadi penyemangat kami untuk terus menjaga hutan adat,” kata Hasan Apd, seperti dikutip Kompas saat menerima penghargaan itu.