Luhut Lanjutkan Kerja Sama Kelola Limbah DAS Citarum dengan Jepang

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Warga mengambil sampah di muara pertemuan antara Sungai Citepus dan Sungai Citarum yang tercemar limbah di Cangkuang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/1/2021). Warga setempat mengeluhkan air di muara Sungai Citarum yang masih tercemar limbah dan menimbulkan bau yang tidak sedap serta berharap agar pemerintah dapat menanggulangi permasalahan tersebut guna menghindari potensi penyakit yang akan ditimbulkan.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
19/2/2021, 10.38 WIB

Pengelolaan sampah di laut perlu dilakukan dari hulu hingga ke hilir. Indonesia pun bekerja sama dengan Jepang dalam mengelola limbah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum agar tidak mencemari lautan.

“Kami sudah melakukan berbagai kebijakan dan menjalankan berbagai program mulai dari 2018 sampai tahun 2020,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan seperti dikutip dari keterangan pers, Jumat (19/2).

Hal ini disampaikan Luhut saat melaksanakan Pertemuan Bilateral Tingkat Menteri dengan Menteri Lingkungan Jepang Shinjiro Koizumi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar secara virtual pada Kamis (18/2).

Kebijakan pengurangan sampah di laut sesuai dengan Peraturan Presiden (PP) Nomor 83 Tahun 2018. Pemerintah menargetkan, penanganan sampah di laut mencapai 70% pada 2025.

Saat ini, kebocoran sampah sungai ke laut  telah berkurang sebesar 15% berkat program seperti penanganan DAS di kawasan Sungai Citarum.

Selanjutnya, limbah yang mencemari DAS perlu diolah. Oleh karenanya, Indonesia-Jepang bekerja sama dalam program Waste to Energy (WTE) yang dilakukan sejak 2017 untuk mengolah polutan di DAS.

Pihak Jepang pun sudah mengolah polutan dengan Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PSEL). PSEL ini dibangun oleh pihak Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan berbagai kajian. PSEL Legok Nangka di Jawa Barat akan menjadi contoh pengimplementasian PSEL bagi daerah lain. 

“Kami bersyukur dengan adanya proyek fasilitas pengolahan limbah bersama pemerintah Indonesia dan Jepang melalui JICA di Legok Nangka,” kata Koizumi.

Fasilitas pengolahan limbah sangat efektif untuk menanggulangi sampah laut, mempromosikan ekonomi berkelanjutan, dan mengurangi kebocoran sampah plastik dari sungai ke laut. Dengan demikian, pemerintah mampu menanggulangi bahaya dari perubahan iklim. 

“Ini merupakan proses, tetapi dengan adanya komunikasi yang konstan dengan pemerintah Indonesia, maka kami sangat positif untuk terus bekerja sama mengenai isu lingkungan,” ujar Koizumi.

Berikut aadalah Databoks proyeksi limbah global hingga 2030: 

Pemerintah Jepang memiliki komitmen yang kuat dalam menanggulangi perubahan iklim. Hal ini dilakukan melalui kebijakannya untuk mewujudkan carbon neutral

Sementara, Indonesia memiliki komitmen yang sama dengan mengeluarkan regulasi tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (carbon credit). Kebijakan itu bertujuan untuk menurunkan emisi karbon nasional dan pengendalian emisi karbon dalam pembangunan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki 75-80% carbon credit dunia yang berasal dari hutan, mangrove, gambut, padang lamun, dan terumbu karang. Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan target rehabilitasi ekosistem mangrove seluas 620.000 hektar pada periode 2021-2024 dengan dukungan multi stakeholders.

“Semua ini dilakukan dengan dasar komitmen kami untuk menurunkan emisi karbon nasional dan dalam pembangunan,” ujar Luhut. 

Luhut pun mengajak pemerintah Jepang untuk berkolaborasi dalam menangani berbagai macam isu lingkungan, terutama peningkatan suhu global. Sebab, Jepang memiliki rekam jejak yang baik dalam menangani isu lingkungan.

Setelah pertemuan ini dilaksanakan, Indonesia dan Jepang akan mengadakan Joint Comittee Meeting. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membahas lebih dalam setiap arahan dari pertemuan Luhut dan Koizumi.

Reporter: Rizky Alika