Kecepatan Vaksinasi Fluktuatif, Kapan Herd Immunity Indonesia Tercapai

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.
Petugas medis menunjukkan vaksin Sinovac Biofarma sebelum disuntikkan pada seorang tenaga pengajar di Rumah Sakit Persada, Malang, Jawa Timur, Jumat (5/3/2021). Sebanyak 9.873 tenaga pengajar di Kota Malang mulai menjalani vaksinasi COVID-19 tahap kedua.
Penulis: Pingit Aria
12/3/2021, 17.56 WIB

Pemerintah tengah menjalankan vaksinasi Covid-19 tahap kedua yang menyasar masyarakat lanjut usia dan petugas pelayanan publik. Vaksinasi bakal terus dilanjutkan hingga menjangkau 181 juta penduduk atau setara 70% dari populasi Indonesia.

Presiden Joko Widodo menargetkan kekebalan kelompok atau herd immunity akan tercapai melalui vaksinasi dalam waktu satu tahun. Akankah target itu tercapai? Katadata Insight Center (KIC) membuat simulasinya.

Data Kementerian Kesehatan per 11 Maret 2021, sebanyak 3,69 juta orang telah menerima suntikan dosis pertama vaksin Covid-19. Jumlah itu setara dengan 1,34% dari jumlah penduduk Indonesia. Sehari sebelumnya, hanya 121 ribu vaksin Covid-19 dosis pertama yang disuntikkan.

“Dengan asumsi kecepatan konstan sebanyak 121 ribu dosis per hari yang disuntikkan, herd immunity baru akan tercapai pada Mei 2025,” kata Data Analyst KIC, Nazmi Haddyat Tamara, Jumat (12/3).

Simak Databoks berikut: 

Kemampuan vaksinasi per hari di Indonesia juga masih fluktuatif. Kadang bisa mencapai 300 ribu per hari, namun kemudian turun lagi ke kisaran 100 ribu dosis. Pada sepekan terakhir, rata-rata penyuntikan vaksin Covid-19 di Indonesia sekitar 200 ribu dosis per hari.

Lalu, untuk mencapai target yang ditetapkan Jokowi untuk menuntaskan vaksinasi dalam setahun, berapa dosisvaksin  yang harus disuntikkan setiap hari dengan waktu yang tersisa? “Setidaknya 600 ribu dosis per hari,” kata Nazmi.

Masalahnya, tantangan dalam melakukan vaksinasi bukan hanya ketersediaan vaksin, tetapi juga penerimaan masyarakat. Sementara, sampai saat ini masih ada kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi.

Penolakan Kaum Muda

Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan sekitar separuh kaum muda berusia 19 – 38 tahun belum bersedia dan ragu untuk divaksinasi Covid-19. Survei dilakukan secara online terhadap 5.963 responden di 34 provinsi di Indonesia pada 13-16 Februari 2021.

Hasilnya, sekitar 87,4% dari total responden tersebut merupakan kelompok usia muda di kisaran 19 – 38 tahun. Perinciannya: generasi Z (29,6%), Generasi Y (57,8%), Generasi X (11,6%) dan Baby Boomer 1%. Dari sisi jenis kelamin: 62% laki-laki dan 38% perempuan.

Manajer Riset KIC, Vivi Zabkie menyebutkan bahwa semakin muda usia, jumlah responden yang belum bersedia divaksinasi semakin meningkat. Pada generasi Y (usia 23 – 38 tahun) atau dikenal dengan julukan kelompok milenial, sebanyak 45,9% belum bersedia divaksinasi yang terdiri atas 33,7% belum memutuskan dan 12,2% menolak divaksinasi. 

Simak Databoks berikut: 

Pada kelompok lebih muda (generasi Z, usia 19-22 tahun), proporsi yang belum bersedia divaksinasi semakin bertambah menjadi 51,7%. Jumlah ini terdiri atas 36,9% responden masih ragu dan 14,8% responden menolak divaksinasi.

Kondisi ini berbeda dengan kelompok yang berusia lebih tua. Pada Generasi X (usia 39-54 tahun) yang belum bersedia divaksinasi sebanyak 34,9% dan pada generasi Baby Boomer (55 – 74 tahun) yang belum bersedia divaksinasi sebanyak 23,7%.  “Generasi X dan Baby Boomer cenderung lebih banyak yang mau divaksinasi,” kata Vivi.

Vivi menjelaskan sejumlah alasan mengapa kelompok usia muda justru lebih banyak yang enggan divaksinasi. Menurut dia, faktor kekhawatiran terhadap efek samping (46,8%) dan keamanan (43,2%) menjadi alasan utama keraguan ikut vaksinasi. Sedangkan, seperempat responden juga mengaku tidak bersedia dan ragu divaksinasi karena tidak percaya pada efektivitas vaksin, takut menjadi kelinci percobaan, serta menyakini ada alternatif lain untuk mengakhiri pandemi.

Analisis ini menemukan bahwa orang yang percaya keamanan vaksin, 3 kali lipat berpeluang setuju divaksinasi dibanding yang tidak percaya. Orang yang tidak percaya hoaks, 2,6 kali lipat lebih berpeluang bersedia divaksinasi dibandingkan orang yang percaya hoaks. Sedangkan, orang yang paham tentang sains lebih berpeluang bersedia divaksinasi 1,5 kali lipat dibandingkan yang tidak paham.

Menilik berbagai data tersebut, Epidemiolog Universitas Airlangga Laura Navika Yamani menyatakan bahwa pemerintah harus terus melakukan edukasi dan sosialisasi perihal pentingnya vaksinasi untuk mengakhiri pandemi Covid-19. “Karena pemahaman masyarakat mengenai topik ini masih sangat bervariasi,” katanya.

Seluruh hasil survei dan analisis Katadata Insight Center (KIC) dapat diakses dan diunduh melalui https://katadata.co.id/setahun-pandemi.