Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mendorong penguatan integrasi hukum negara-negara anggota ASEAN. Ini lantaran integrasi perangkat hukum ini akan jadi kunci bagi negara Asia Tenggara untuk mempunyai suara di komunitas internasional serta menjadi kunci kebangkitan dari pandemi Covid-19.
Integrasi hukum ASEAN berarti negara anggotanya perlu mengharmonisasi hukum dan peraturan domestik masing-masing. Hal ini yang akan memperkuat sistem hukum nasional negara-negara anggota serta supremasi hukum di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.
"Kesepuluh negara anggota yang bertindak sebagai satu ASEAN akan memiliki suara yang lebih kuat di komunitas internasional. Agar integrasi ini lebih stabil, kredibel, dan efektif, tentu dibutuhkan dasar hukum yang lebih mengikat," kata Yasonna, seperti dikutip dari keterangan pers, Rabu (14/4).
Namun, ia menyadari integrasi perangkat hukum negara-negara anggota ASEAN memiliki tantangan tersendiri. Sebab, ada perbedaan sistem serta praktik hukum di masing-masing negara dalam mengadopsi hukum internasional.
Meski begitu, harmonisasi hukum antar-negara ASEAN bukan hal yang tak mungkin dilakukan. Kerja sama tersebut sudah dimulai sejak penandatanganan Perjanjian Perdagangan Bebas (AFTA/ASEAN Free Trade Agreement) pada 1992.
Sejak penandatanganan Common Effective Preferential Tariff/ASEAN Free Trade Agreement (CEPT/AFTA) pada 1992, negara anggota ASEAN sudah bekerjasama dalam memerangi kejahatan trans-nasional, pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, serta perompakan.
Secara bilateral, negara-negara anggota ASEAN juga menyepakati perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (MLA/Mutual Legal Assistance) dan Ekstradisi. Indonesia juga telah menyepakati MLA dengan Vietnam dan perjanjian ekstradisi bersama Malaysia, Filipina, Thailand, serta Vietnam.
Tak hanya itu, Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam Konferensi ASEAN tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana yang merupakan forum untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di kawasan Asia Tenggara.
Yasonna mengatakan, kerja sama tersebut harus diperkuat dalam menghadapi pandemi Covid-19 sebagai cara untuk mengatasi tantangan global yang muncul akibat pandemi Covid-19. Bahkan pemimpin negara-negara ASEAN telah menyatukan komitmen untuk memperkokoh kerjasama di sektor darurat kesehatan publik.
Para pemimpin juga merancang rencana pemulihan pasca-pandemi sebagaimana disampaikan dalam ASEAN Summit ke-36 yang berlangsung melalui telekonferensi pada Juni 2020. Namun, upaya ini membutuhkan kolaborasi di antara pelaku industri, swasta, dan pemangku kebijakan lainnya.
"Menangani krisis Covid-19 secara efektif membutuhkan respons yang didasarkan pada sikap inklusif dan memastikan bahwa tak ada satupun di antara kita yang diabaikan," kata Yasonna.
Ia pun menilai, negara-negara anggota ASEAN mesti memperkuat kerangka hukum dan kebijakan untuk mengelola respons terhadap Covid-19 dan upaya pemulihannya. Bagi Indonesia, pengelolaan risiko kesehatan publik dan pemulihan perekonomian menjadi sangat krusial sampai ada vaksin atau pengobatan yang betul-betul efektif. "Komunitas ASEAN mesti bekerjasama memerangi pandemi ini," ujar dia.
Perkara hukum antara RI dan negara tetangannya sendiri tak selalu berjalan mulus. Jelang akhir pekan lalu, Pemerintah Singapura memprotes pernyataan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irjen Karyoto yang mengatakan negara tersebut sebagai surga para koruptor.
Padahal, Singapura mengaku telah banyak membantu KPK dalam upaya penindakan korupsi. Salah satu bantuan tersebut adalah kerja sama Biro Penyelidikan Praktik Korupsi (CPIB) untuk memanggil orang-orang yang sedang dalam penyelidikan ke KPK.
"Tuduhan tersebut tidak berdasar. Singapura telah memberikan bantuan kepada Indonesia dalam beberapa investigasi sebelumnya dan yang sedang berlangsung," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Singapura dalam keterangannya, Jumat (9/4).