Meninjau Kebijakan Anti Illegal Fishing Indonesia

Humas PSDKP
Kementerian Kelautan dan Perikanan Melakukan Penenggelaman Kapal Pelaku Illegal Fishing di Belawan.
Penulis: Fitria Nurhayati - Tim Publikasi Katadata
25/5/2021, 18.28 WIB
 

Siang itu, Rabu (31/3) sepuluh kapal ikan asing dari Vietnam yang kedapatan mencuri ikan ditenggelamkan di Perairan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna. Sebelumnya proses hukum telah dilakukan, delapan di antaranya diproses di Kejaksaan Negeri Natuna, sedangkan dua lainnya di Kejaksaan Negeri Karimun. Sebelum ditenggelamkan, kapal-kapal tersebut dibakar terlebih dahulu. Kemudian kapal dilubangi agar air masuk ke dalam kapal. Juga diberikan beban untuk mempermudah penenggelaman.

Sejak Susi Pudjiastuti tidak lagi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, operasi penenggelaman kapal yang sempat menjadi ikon Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini tidak lagi dilakukan. Alasannya, biaya penenggelaman mahal. Edhy Prabowo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan memilih memberikan kapal sitaan kepada pihak yang membutuhkan, seperti untuk bahan praktikum di perguruan tinggi.

Namun, melihat kembali maraknya tindakan Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUUF), ditambah maraknya keluhan nelayan terkait hal tersebut, Menteri KKP sejak 23 Desember 2020, Wahyu Sakti Trenggono memutuskan kembali melakukan penenggelaman kapal.

“Yang paling efektif untuk mencegah IUUF memang penenggelaman kapal. Tujuannya supaya ada efek jera buat para pelaku. Kita sudah mengekspos berkali-kali penenggelaman. (Namun) mereka masih saja keras kepala,” tutur Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi pada Katadata saat diwawancarai via Zoom (26/4).

Berdasarkan data KKP, sampai April 2021, total 629 kapal telah ditenggelamkan. Sejak kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti, penenggelaman kapal terus meningkat tahun demi tahun, dari hanya 8 kapal pada 2014 menjadi 144 kapal pada 2018. Namun, pada 2019 jumlah kapal yang ditenggelamkan menurun seiring dengan dicabutnya kebijakan penenggelaman kapal di masa kepemimpinan Menteri Edhy Prabowo.Dari data KKP, penenggelaman kapal ini berdampak pada semakin meningkatnya tangkapan ikan. Produksi perikanan tangkap pada 2015 sebanyak 6,68 juta ton, lalu meningkat menjadi 7,53 juta ton pada 2019. Ini kemudian berbanding lurus dengan nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang juga naik. PNBP pada 2015 senilai Rp 137,1 miliar, lalu naik signifikan menjadi Rp 756,5 miliar pada 2019.

Implementasi Kebijakan Anti IUUF di Indonesia

Penenggelaman kapal pelanggar IUUF oleh Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan/KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP))

IUU Fishing bukan sebatas tindak pidana perikanan, tapi juga menyangkut perbudakan, perdagangan manusia, penyelundupan hewan, narkoba, dan lainnya. Ditambah, penentuan beberapa area perbatasan dengan negara tetangga yang belum selesai juga berkontribusi pada maraknya pelanggaran sektor perikanan.

Hal itu menyebabkan kerugian dari aspek sosial, ekologi, dan ekonomi. Dalam laporan tahunan KKP disebutkan, IUU Fishing setidaknya terjadi disebabkan dua hal. Pertama, beberapa negara mengalami penurunan stok ikan padahal permintaan terus meningkat. Kedua, kemampuan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia belum memadai.

Kebijakan IUU Fishing masa pemerintahan Presiden Jokowi telah diterapkan sejak 2014 melalui Permen-KP 56/2014 mengenai moratorium eks-kapal asing. Kemudian Permen-KP 57/2014 mengenai larangan transhipment atau alih muat tangkapan di tengah laut dan Permen-KP 76/2014 mengenai pembentukan Satgas Gahtas IUUF.

Komitmen anti IUUF semakin diperkuat dengan Permen-KP 02/2015 terkait larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik, serta Permen-KP 4/2015 tentang eks kapal asing. Peraturan ini diiringi penguatan koordinasi antar-instansi penegak hukum dan implementasi pertanggungjawaban tindak pidana korporasi.

Dikeluarkannya beragam peraturan dikarenakan IUUF mencakup banyak hal. Seperti yang dijelaskan Sekretaris Jenderal Koalisi untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati saat diwawancarai Kadatada (26/4), “IUUF bukan hanya persoalan penangkapan ikan ilegal, namun juga berkaitan dengan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan, praktik perbudakan di kapal, juga rantai perdagangan yang kompleks,” tuturnya.

Bongkar-Pasang Kebijakan Anti IUUF

Penenggelaman kapal pelanggar IUUF oleh Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan/KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP))

Selama tujuh tahun kebijakan anti IUUF diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi perubahan arah kebijakan berdasarkan tiga kepemimpinan menteri. Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, menyebutkan kebijakan selama kepemimpinan Susi Pudjiastuti seperti melakukan konservasi, melarang aktivitas penangkapan ikan dengan alat destruktif, melarang ekspor benih lobster, dan penenggelaman kapal IUUF merupakan gebrakan positif.

“Itu bisa dijadikan pondasi kebijakan jangka panjang KKP. Tinggal bagaimana kita mendorong penerapannya dari hulu ke hilir, dan bisa diimplementasikan di seluruh perairan Indonesia,” jelas Afdillah.

Selain itu Susan Herawati menilai, penenggelaman kapal memang merupakan langkah berani. Namun, penenggelaman kapal yang jadi tonggak kebijakan di bawah komando Susi Pudjiastuti masih sulit ditakar efisiensinya. Ini disebabkan anggaran penenggelaman kapal memakan biaya yang besar, sedangkan hukuman yang diberikan pada pelaku tidak seimbang.

KIARA mempelajari 116 putusan pengadilan perikanan selama 2015 sampai 2018. Pada UU No. 45/2009 tentang Perikanan Pasal 93 mengatur ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar bagi pelaku IUUF. Namun faktanya, denda paling tinggi yang diberikan hanya sebesar Rp 6 miliar dan terendah Rp 500 ribu. Adapun denda yang paling sering diberikan senilai Rp 1 miliar.

“Dari 116 kasus, 113 di antaranya dikenakan denda. Total hanya Rp 80,25 miliar,” ungkap Susan. Ia melanjutkan, sanksi kurungan paling lama yang pernah diberikan hanya selama 3 tahun dan paling cepat dua bulan. “Bahkan ada beberapa pelaku IUUF tidak mendapat sanksi kurungan,” terangnya.

Pada masa kepemimpinan Menteri Susi juga dibentuk Satgas 115 yang berperan dalam penegakan hukum. Satgas tersebut beranggotakan KKP, TNI-AL, Bakamla, Kejaksaan, dan Polisi. Kesatuan ini kemudian bertanggung jawab pada penangkapan kapal hingga penerapan sanksi dan denda.Di bawah kepemimpinan Menteri KKP Edhy Prabowo, menurut Afdillah, terjadi kebijakan yang kontraproduktif. Satgas 115 dibubarkan, penenggelaman kapal juga tidak lagi menjadi opsi untuk memberikan efek jera. Investasi menjadi prioritas yang kemudian menjadikan kapal asing diizinkan masuk ke perairan Indonesia, alat tangkap yang merusak lingkungan boleh digunakan, hingga dilakukannya ekspor benih lobster. Meski tidak lama kemudian, Edhy Prabowo terciduk KPK terkait kasus benih lobster.

Kepemimpinan menteri selanjutnya, Wahyu Sakti Trenggono, sejak akhir 2020 dinilai Afdillah belum menunjukkan langkah progresif. Persoalan semakin bertambah pasca ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan tersebut mengamanatkan kapal-kapal asing diperbolehkan menangkap ikan di perairan Indonesia asal mendapat izin dari KKP.

“Tujuan investasi dan pertumbuhan ekonomi jadi penyebabnya. Dengan kapal-kapal asing didatangkan, dipersilakan mengambil kekayaan laut ibu pertiwi, nelayan akan jadi korban. Hasil tangkap berkurang,” tutur Afdillah.

Dilanjutkan lagi, transhipment diperbolehkan dengan beberapa syarat seperti keharusan 70-80 persen awak buah kapal (ABK). Laporan Greenpeace bekerja sama dengan Global Fishing Watch memaparkan, transhipment di laut merupakan celah praktik IUUF. Dengan offloading ikan di laut, kapal bisa menyelundupkan tangkapan ikan ke pasar. Ini membuat pemerintah sulit mendeteksi atau melacak ikan tangkapan karena kapal beroperasi tanpa harus kembali ke pelabuhan untuk pencatatan.

Menurut analisa KIARA, ada dua hal yang menyebabkan transhipment itu bagian dari IUUF dan tidak boleh lagi dilakukan. Pertama, pemerintah Indonesia tidak bisa mengukur berapa banyak sumber daya laut yang diambil dengan alih muat di tengah laut. “Siapa yang mau mengawasi? Rencananya mau ada logbook, siapa yang mau mencatat hasil tangkap di tengah laut?” kata Susan.

Kedua, persoalan perbudakan. ABK yang berada di kapal dengan sistem transhipment tidak bisa dilacak identitasnya. Ini menyebabkan ABK berisiko tidak mendapat bayaran yang layak dan bekerja melebihi jam kerja seharusnya.

Kendala utama dalam menangani IUUF, diakui Wahyu adalah minimnya armada kapal patroli yang dimiliki KKP. Saat ini, KKP memiliki 30 kapal yang berpatroli di sebelas wilayah perairan (WP) Indonesia. Dari 30 kapal, 4 di antaranya sedang diperbaiki. Praktis yang normal beroperasi hanya 26 kapal.

“Ini jauh dari ideal. seharusnya, setidaknya kita punya 70 kapal patroli untuk menjaga WP kita,” tuturnya. Untuk ini, Wahyu menjelaskan, pemerintah menargetkan ada penambahan sepuluh kapal patroli di tahun ini. “Tahun ini mulai dianggarkan. Mudah-mudahan dua sampai tiga tahun lagi sudah ada tambahan untuk memperkuat armada patroli kelautan kita,” kata Wahyu.

Modus dan Dampak IUUF bagi Indonesia

Dalam catatan Satgas 115 sejak 2014 sampai 2019, modus operandi dan pelanggaran pidana yang dilakukan pelaku IUUF beragam. Beberapa di antaranya adalah pemalsuan dokumen, double flagging, mengubah nama kapal, bahkan perdagangan orang atau human trafficking.

Modus OperandiModus Operandi Pidana Lainnya
Pemalsuan dokumen pengalihan kepemilikan kapalPerdagangan orang
Double flagging dan double registeredKerja paksa
Penangkapan ikan tanpa izin SIPI/SIKPIPenganiayaan
Mengubah nama kapalMempekerjakan anak di bawah umur
Berlayar tanpa izinPenyelundupan barang
Menggunakan nahkoda dan ABK asingKorupsi
Alih muatan ilegal di tengah lautTindak pidana pencucian uang
Pelaporan logbook yang tidak akuratTindak pidana ketenagakerjaan
Tidak taat dalam melaporkan health certificate dan pemberitahuan ekspor barangTindak pidana keimigrasian
Pelanggaran jalur penangkapan ikanTindak pidana pajak
Tidak mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalanPenggunaan bahan bakar minyak ilegal
Mematikan VMS dan AIS

Sumber: Satgas 115

Banyaknya modus IUUF ini belum diimbangi dengan penegakan hukum yang adil. Masih dari laporan Satgas, diungkapkan beberapa kelemahan tindakan hukum pada pelaku IUUF. Mulai dari penerapan jenis dakwaan yang sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Koordinasi antar penyidik dan antar kementerian dan lembaga yang menangani perkara perikanan juga dinilai Satgas 115 masih lemah. Penyimpangan hasil putusan pengadilan, seperti kapal pelaku dilelang dengan murah bahkan dikembalikan ke pemilik asal juga menjadi persoalan.

“Untuk yang satu ini kami benar-benar sedang berbenah. Jangan sampai kapal kembali pada pelaku,” tegas Wahyu.

Dari bermacam upaya pencegahan dan penanganan pelaku IUUF sepanjang 2014 sampai 2019, KKP mencegah keluar dan masuknya ikan ilegal sebanyak 17,9 miliar ekor, 85.011 paket telur ikan, dan 1,1 juta kilogram ikan. totalnya mencapai 2,27 triliun rupiah.

Afdillah juga mengingatkan, kerugian ekonomi hanya bagian kecil yang harus diderita negeri ini akibat aktivitas IUUF. “Ekosistem laut yang rusak, asupan nutrisi bagi anak negeri yang berkurang, merupakan kerugian sebenarnya. Tidak ternilai harganya,” tegas Afdillah.

Menjaga Laut dengan Melibatkan Nelayan

Lembaga nirlaba KIARA merekomendasikan beberapa hal supaya IUU Fishing di Indonesia bisa dilawan. Utamanya dengan mendorong masyarakat, khususnya para nelayan terlibat aktif menjaga keamanan laut. “Mereka yang merasakan bagaimana stok ikan menipis. Mereka melihat langsung kapal-kapal yang melakukan IUUF. Tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak ada perlindungan dari negara,” ujar Susan.

Afdillah mengamini pentingnya pelibatan nelayan. Masalah utama penjagaan perairan Indonesia adalah pada patroli. Nelayan bisa dimaksimalkan perannya di sana. “Bekali dengan pengetahuan tentang cara menyikapi ketika mereka bertemu pelaku IUUF, bekali peralatan seperti GPS dan radio. Nelayan bisa melaporkan nama kapal dan nomor kapal ke tim pengawas di darat. Dari sana bisa dimonitor siapa pemilik kapalnya, beroperasi di WWP mana,” tambah Afdillah.

Selain itu, KIARA juga mendorong pemerintah memperkuat pengadilan perikanan. Di tingkat ASEAN, perlu memiliki satu payung yang secara legal mengikat pengamanan laut kolektif. KIARA juga mendorong pembentukan koperasi nelayan agar rantai pasok perikanan yang panjang bisa dipangkas.

“Jangan sampai kita kehilangan identitas maritim dan bahari kita. Jangan sampai nelayan kita beralih profesi menjadi buruh-buruh di kapal orang,” tegas Susan.

Simak dokumentasi mengenai IUUF oleh Ocean Defender Indonesia di video berikut: