Semarang sebagai kota di kawasan pesisir utara Jawa Tengah berkembang pesat. Kota ini tumbuh menjadi pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya yang penting bagi daerah sekitarnya.
Kota Semarang tak lepas dari akulturasi budaya Tiongkok, seperti terlihat dari Kelenteng Sam Poo Kong. Saat ini, kelenteng tersebut digunakan sebagai tempat beribadah dan wisata. Pengunjung dapat bersembahyang, berfoto, dan relaksasi seiring suasana kelenteng ini menenangkan.
Pengertian Klenteng
Dalam buku Kelenteng-kelenteng Kuno Indonesia yang ditulis oleh Asti Kleinsteuber, istilah kelenteng berasal dari suara lonceng yang terdengar ketika upacara sembahyang diadakan dalam bangunan suci. Bunyi lonceng tersebut terdengar seperti klinting-klinting atau klonteng-klonteng. Untuk memudahkan penamaan, maka disebut dengan istilah kelenteng.
Seperti tempat beribadah lain, kelenteng memiliki tata cara keagamaan yang berlandaskan agama Konghucu. Pembangunan kelenteng membutuhkan beberapa ahli feng shui, yaitu seseorang yang menguasai praktik tradisional menggunakan kekuatan energi untuk menyelaraskan individu dengan lingkungan sekitarnya.
Ahli feng shui yang dibutuhkan dibagi dalam tiga jabatan, yaitu penata kelenteng, pemborong bangunan, dan perencanaan bangunan. Para ahli feng shui tersebut harus mewujudkan faktor keberuntungan agar kelenteng membawa berkah bagi jemaat yang beribadah.
Lokasi Klenteng Sam Poo Kong
Klenteng Sam Poo Kong terletak di Jl. Simongan No. 129 Bongsari, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah. Jarak klenteng dari pusat Kota Simpang Lima Semarang hanya 4,1 km dan dapat ditempuh dalam waktu 12 menit.
Sejarah Klenteng Sam Po Kong
Dalam buku Muslim China di Jawa Abad XV dan XVI: antara Historis dan Mitos oleh H. J. de Graaf, Kelenteng Sam Poo Kong didirikan pada tanah seluas luas 3,2 hektar dan memiliki 5 bangunan.
Kelenteng ini didirikan sebagai penghormatan Laksamana Cheng Ho, yakni seorang penjelajah Tiongkok yang singgah di Semarang dalam perjalanannya menyebarkan perdamaian. Laksamana Cheng Ho merupakan laksamana muslim yang diutus Kerajaan Ming dalam beberapa ekspedisi laut ke Kepulauan Selatan.
Berdasarkan buku karangan Liem Thian Joe yang berjudul Riwajat Semarang: dari Djamanja Sam Poo sampe Terhapoesnja Kongkoan, Cheng Ho dilahirkan di Yunnan pada tahun 1371 Masehi, tepatnya di desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Provinsi Yunnan.
Sejarawan Edward L. Dreyer menjelaskan dalam buku Zheng He: China and the Oceans in the Early Ming, bahwa Cheng Ho memiliki nama asli Ma He dan lahir dalam keluarga Muslim. Ia kemudian mengadopsi nama keluarga Zheng yang diberikan oleh Kaisar Yung Lo sehingga menjadi Zheng He.
Pada masa pemerintahannya, Kaisar Yung Lo mengerahkan armadanya kurang lebih 208 kapal yang seluruhnya dapat menampung 28.000 orang. Kapal-kapal tersebut mengarungi samudera selama 28 tahun dalam 7 kali pelayaran. Setiap pelayaran memakan waktu 2 tahun. Melalui dekrit kerajaan, Cheng Ho ditunjuk sebagai pemimpin.
Dalam buku Cheng Ho karangan Zhu Xie, pelayaran Cheng Ho menuju Samudera Barat diadakan sebanyak tujuh kali pelayaran dan memakan waktu selama dua puluh delapan tahun, yaitu:
- Tahun 1405-1407 M.
- Tahun 1407-1409 M.
- Tahun 1409-1411 M.
- Tahun 1413-1415 M.
- Tahun 1417-1419 M.
- Tahun 1421-1422 M.
- Tahun 1431-1433 M.
Menurut sejarawan Liem Thian Joe, pada tahun 1416, kapal Cheng Ho singgah di pantai Simongan pada sebuah gua batu karena kapten Wang Jing Hong jatuh sakit dan membutuhkan perawatan. Ketika sakit Wang sudah mulai membaik, Cheng Ho meneruskan perjalanannya menuju Tuban. Tinggallah Wang Jinghong dengan ditemani 10 awak kapal lainnya.
Berdasarkan buku karangan Khong Yuan Zhi yang berjudul Muslim Tionghoa Cheng Ho, Wang Jinghong merupakan muslim yang saleh. Ia rajin menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat. Selain itu, ia mengajari penduduk untuk bercocok tanam, melaut, dan berdagang. Kegiatan perdagangan dan pertanian tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi lokal.
Pada tahun 1417, Wang membangun patung Laksamana Cheng Ho di dalam gua batu agar penduduk setempat dapat mengingat dan memberikan penghormatan kepadanya. Wang kemudian meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sekitar daerah itu. Sejak itu, penduduk setempat menyebut makamnya sebagai Makam Kyai Juru Mudi (Makam Kapten Kapal).
Ketika gua batu runtuh akibat longsor besar pada tahun 1704, penduduk setempat membangun gua baru di samping Makam Kapten Kapal dan hingga kini dikenal sebagai Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Kelenteng tersebut sudah beberapa kali dipugar.
Pada tahun 1965, Yayasan Sam Poo Kong didirikan oleh Thio Siong Thouw dan restorasi mulai dilakukan pada Januari 2002 untuk mencegah banjir dan masalah lain yang mungkin terjadi. Restorasi selesai pada Agustus 2005, bersamaan dengan 600 tahun peringatan kedatangan Laksamana Cheng Ho di Semarang. Setelah restorasi tersebut, kuil utama diubah menjadi megah dan luas untuk menghormati Laksamana Cheng Ho.
Bangunan Klenteng Sam Poo Kong
Menurut sebuah artikel oleh Benedicta Sophie Marcella dalam Jurnal Komposisi Arsitektur, terdapat lima bangunan dalam area Klenteng Sam Poo Kong yaitu Kelenteng Utama Sam Poo Kong, Kelenteng pemujaan Dewa Bumi, Kelenteng makam Mbah Kyai Jurumudi, Kelenteng Mbah Kyai Jangkar, Klenteng Mbah Kyai Tumpeng dan Mbah Kyai Curudik Bumi.
Klenteng Utama Sam Poo Kong
Kelenteng utama digunakan sebagai pemujaan terhadap Laksamana Cheng Ho. Bangunan Klenteng Utama memiliki 90 tiang pilar berwarna merah dengan motif naga. Atap kelenteng utama bertingkat tiga serta terdapat patung simbol binatang pada ujung atap.
Warna yang digunakan untuk atap adalah merah, hijau, dan kuning. Kelenteng ini dihiasi berbagai lampion dan ornamen naga berwarna putih serta lantai yang terbuat dari marmer. Patung Laksamana Cheng Ho berada di depan Klenteng utama.
Kelenteng Pemujaan Dewa Bumi
Fungsi kelenteng ini adalah sebagai pemujaan bagi Dewa Bumi atau dikenal dengan nama Hok Tik Tjing Sin. Bangunan ini berbentuk persegi empat dengan tinggi 16 m dan ujung atap yang meruncing. Terdapat 36 pilar berwarna merah dengan ujung bagian atas tiang berwarna kuning berbentuk lingkaran.
Atap kelenteng ini bertingkat dua dan tidak terdapat simbol hewan pada ujung atapnya. Plafon pada kelenteng ini merupakan perpaduan balok vertikal dan horizontal. Warna yang digunakan adalah putih, merah, dan hijau.
Kelenteng Kyai Jurumudi
Kelenteng ini digunakan sebagai tempat pemujaan bagi Kyai Juru Mudi Dampo Awang atau dikenal juga sebagai Kapten Wang Jinghong. Bangunan ini memiliki ketinggian 15 meter dan di dalamnya terdapat makam Kyai Jurumudi.
Bangunan kelenteng Kyai Jurumudi berbentuk persegi empat, berwarna merah, dan memiliki dua tingkatan atap yang ujungnya lancip dengan simbol hewan pada ujung atap. Pilar terdiri dari 16 tiang. Sebanyak 14 tiang berwarna merah bulat dihiasi lampu berbentuk teratai berwarna putih dan dua tiang pilar berukiran naga terletak di depan pintu masuk. Pada ujung atas tiang terdapat bulatan lingkaran berwarna kuning.
Kelenteng Mbah Kyai Jangkar
Kelenteng Mbah Kyai Jangkar terdapat tiga altar sembahyang, yaitu tempat sembahyang Arwah Hoo Ping, Nabi Kong Hu Tju, dan Mbah Kyai Jangkar. Bangunan Klenteng Mbah Kyai Jangkar terbuat dari bata dengan ketinggian 10 meter.
Terdapat empat pilar dalam bangunan dua tiang pilar berbentuk bulat dua berbentuk persegi empat, dengan dinding bata kiri dan kanan bangunan berwarna Hijau.
Klenteng Kyai Tumpeng dan Kyai Curudik Bumi
Klenteng Mbah Kyai Tumpeng dan Mbah Kyai Curudik Bumi menampilkan arsitektur Jawa dengan atap limasan berwarna merah dan pilar persegi empat berwarna kuning. Terdapat makam Mbah Kyai Tumpeng dan Mbah Kyai Curudik Bumi. Adapun peralatan sembayang berupa tempat dupa, tempat lilin yang terbuat dari besi, dan kursi berwarna merah.
Demikian ulasan dan informasi mengenai Klenteng Sam Poo Kong, jika Anda berkunjung ke Semarang, jangan lewatkan kesempatan untuk mengunjungi kelenteng bersejarah ini.