Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menetapkan tanggal 7 September sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM. Ini merupakan hari di mana Munir Said Thalib dibunuh dalam penerbangan dari Indonesia ke Belanda pada 2004 silam.
Komnas HAM melihat pembunuhan atas Munir menjadi peristiwa penting dalam penegakkan hak asasi manusia di Tanah Air. Selama hidupnya, suami Suciwati ini dikenal gigih memperjuangkan HAM terutama pasca reformasi 1998. Keteguhan pendirian sosok Munir dalam memperjuangkan HAM terlihat dari semua aspek, baik mengenai hak berekspresi, hak kebebasan berpendapat, kekerasan yang terjadi di Papua maupun Aceh, dan lain sebagainya.
"Tujuh Komisioner Komnas HAM memutuskan 7 September menjadi Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa (7/9).
Kendati demikian, Komnas HAM juga menyatakan pemilihan ini bukan berarti mengecilkan peran pejuang HAM yang lain. Ahmad Taufan berpendapat Munir telah mewakili dimensi-dimensi penegakkan HAM di Indonesia.
Kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir akan memasuki tahun ke-18 pada 2022. Mengacu pada Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus ini bisa dinyatakan kadaluarsa sehingga penyelidikan bisa dihentikan. Hal inilah membuat sejumlah pihak mendesak Komnas HAM agar menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan penetapan status ini akan memastikan keberlanjutan penyelidikan. “Kasus Munir telah memenuhi syarat [kasus pelanggaran HAM berat] sebagaimana ketentuan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, yang mengatur elemen-elemen kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Arif dalam audiensi yang dilakukan oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) terhadap Komnas HAM, Senin (6/9).
Sejak pertama kali disidangkan, kasus Munir memang dianggap sebagai kasus pidana pembunuhan. Bagi pelaku kejahatan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, terdapat rentang waktu 18 tahun bagi kasus tersebut untuk dituntaskan sebelum kadaluarsa. Sementara itu, ketentuan kadaluarsa tidak berlaku untuk kasus HAM berat.
Deputi Direktur Amnesty International Wirya Adiwena mengatakan penuntasan kasus Munir bisa mencerminkan komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM. Ia berpandangan, penyelesaian kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM tersebut memiliki makna yang begitu luas bagi Indonesia. Proses penuntasan kasus ini telah berlangsung lintas pemerintahan. Mengingat kasus Munir telah bergulir sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini telah memasuki periode kedua Presiden Joko Widodo.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga menyatakan instansinya belum satu suara dalam soal penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM Berat.
“Dari diskusi yang berkembang, masih ada yang melihat unsur sistematisnya belum terpenuhi,” katanya, Senin (6/9).
Proses penyelidikan kasus Munir sempat menyeret nama pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Prijanto yang akhirnya divonis 14 tahun penjara. Pada 28 November 2014 ia dibebaskan bersyarat setelah menjalani hukuman 8 tahun penjara. Pollycarpus sempat bergabung dengan Partai Berkarya pimpinan Tommy Soeharto. Ia akhirnya meninggal pada 17 Oktober 2020 akibat virus Covid-19.