Sebanyak 206 WNI Terancam Hukuman Mati Sepanjang 2021

ANTARA FOTO/Agus Alfian/jhw/aww.
Dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang bebas dari hukuman mati di Malaysia yaitu Herna Mola (kedua kanan) dan Soha Beta (kanan) tiba di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Rabu (24/3/2021). KJRI Kuching Sarawak Malaysia membantu dan mendampingi kepulangan dua WNI asal Gowa, Sulawesi Selatan yaitu Herna Mola (33 tahun) dan Soha Beta (39 tahun) ke Indonesia, setelah keduanya dinyatakan bebas dari hukuman mati oleh Mahkamah Federal Sarawak.
18/10/2021, 17.15 WIB

Kementerian Luar Negeri menyebut sebanyak 206 warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri terancam hukuman mati sepanjang 2021.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha mengatakan dari jumlah tersebut 79 di antaranya sudah inkrah. Malaysia merupakan negara yang paling dominan akan menjatuhi hukuman mati bagi WNI, yakni 188 orang.

"Mayoritas kasusnya adalah narkoba," kata Judha, dalam diskusi bertajuk "Hukuman Mati dan Dimensi Kekerasan Berbasis Gender serta Penyiksaan terhadap Perempuan", Senin (18/10).

Selain Malaysia, lima WNI juga terancam hukuman mati di Arab Saudi, empat di Uni Emirat Arab, tiga WNI di Laos, dua di China, dan masing-masing satu WNI di Vietnam, Myanmar, dan Singapura. Kasus narkoba dan pembunuhan menjadi dua dakwaan terbesar kepada para WNI tersebut.

Jika merujuk gender, ujarnya, dari 206 WNI yang terancam hukuman mati tersebut sebanyak 39 di antaranya merupakan perempuan. Judah memaparkan Kemlu telah melakukan sejumlah upaya agar hukuman mati bagi WNI dapat dihindarkan. Upaya ini antara lain akses kekonsuleran, pendekatan kepada keluarga korban, dan pembelaan melalui pemeriksaan medis,

Selama periode 2021 Kemlu berhasil membebaskan dua WNI dari ancaman hukuman mati, yakni Adewinta binti Isak Ayub asal Cianjur, Jawa Barat, dengan kasus pembunuhan. Selanjutnya Halimah Idris asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, kasus pembunuhan dengan status hukuman bebas dan pemaafan dari ahli waris. Upaya hukum yang dilakukan, yakni pendampingan hukum, kunjungan penjara, dan keterlibatan keluarga di Tanah Air.

"Keduanya terjadi di Arab Saudi dan alhamdulillah bisa kita bebaskan," kata Judha.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai hukuman mati bagi perempuan merupakan salah satu puncak kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Ia menyebut hidup adalah hak asasi yang hakiki, fundamental, dan tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun.

“Namun, nyatanya masih ada kontradiksi antara mandat konstitusi dengan sistem hukum di tingkat nasional," katanya dalam kesempatan yang sama.

Andy mengatakan hukuman mati masih diberlakukan untuk sejumlah tindak pidana maupun pemberatan atas pidana tertentu. Akan tetapi, tak jarang perempuan yang berurusan dengan pidana mati pada awalnya merupakan korban kekerasan. Seringkali perempuan menjadi terpidana hukuman mati dikarenakan melakukan pembelaan diri akibat kekerasan yang dialami baik fisik maupun psikis.

"Jika kita lihat, sering kali perempuan yang menjadi terpidana hukuman mati merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga," kata Andy Yentriyani.

Selain itu, banyak kaum perempuan yang menjadi terpidana mati di mana awalnya mereka merupakan korban perdagangan orang dengan tujuan utama penjualan narkotika.Tidak hanya itu, kata dia, kuatnya pengaruh patriarki di masyarakat membuat kaum perempuan sering ketergantungan kepada laki-laki. Baik secara ekonomi maupun psikis.