Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik komitmen pemerintahan Jokowi-Amin terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan sikap anti korupsi pemerintah masih jauh dari memuaskan. Menurutnya, publik perlu bertanya apakah presiden mampu bertanggung jawab untuk program-program yang direstuinya dalam rangka memberantas korupsi. Ia menilai Presiden harus pasang badan dan memimpin langsung pemberantasan korupsi.
"Tidak bisa didelegasikan ke anggota kabinet selevel menteri karena kalau seperti itu terus kita justru akan bertanya soal komitmen Presiden," ujar Laola dalam diskusi virtual, Selasa (19/10).
Dalam evaluasi tersebut ICW menyoroti lima hal terkait ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi. Lima poin tersebut adalah mulai dari kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, wacana remisi bagi koruptor, implementasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), tidak didorongnya rancangan undang-undang (RUU) dalam shortlist program legislasi nasional (prolegnas) dan polemik rangkap jabatan antara pejabat publik dengan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lalola Easter menyebut dalam kasus Djoko Tjandra yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari vonis yang diberikan masih jauh dari ideal. Jaksa Pinangki sendiri sebelumnya divonis empat tahun setelah menerima keringanan hukuman melalui tingkat banding di pengadilan tingkat pertama. Pinangki divonis hukuman sepuluh tahun penjara dalam kasus suap buronan Djoko Tjandra, tetapi kemudian dipotong menjadi empat tahun.
"Dalam persidangan banyak sekali kesaksian yang dianulir dan tidak ditindak lanjuti sebagai upaya untuk pendalaman kasus ini. Padahal ada dugaan kuat bahwa Jaksa Pinangki tentu tidak bekerja sendiri," ujar Lalola.
Pada paparannya Laola kemudian menyampaikan poin kedua yaitu mengenai wacana remisi bagi koruptor. Dalam poin ini Laola menjadikan wacana untuk melonggarkan syarat pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi oleh Otto Cornelis Kaligis sebagai contoh. Laola khawatir hal tersebut akan berdampak pada semakin luasnya penafsiran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Lebih lanjut Laola menyampaikan bahwa Presiden memiliki peran penting dalam menjaga agar semangat dalam PP Nomor 99 tahun 2012 tidak dicederai. Hal itu karena publik sudah sangat familiar betapa narapidana kasus korupsi dapat bergerak dengan leluasa bahkan ketika mereka berada dalam lapas.
"Ini menjadi catatan penting bagi oresiden untuk segera mehgambil tindakan serius menecgah agar pemberian remisi atau pengetatan syarat remisi bagi napi korupsi itu tidak diperlonggar atau tidak dipermudah," tegas Laola.
Poin ketiga yang disampaikan Laola adalah mengenai kebijakan anti korupsi dalam kabinet Jokowi-Ma'aruf Amin yang disebutnya tidak terlalu bagus. Dalam kebijakannya ICW hanya mengidentifikasi satu program yang disebut dengan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi atau Stranas PK yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Perpres 54/ 2018). Tiga fokus kerja dalam Stranas PK adalah perizinan dan tata niaga, keuangan negara dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Laola juga menyoroti polemik rangkap jabatan yang dilakukan dalam pemerintahan. Salah satunya adalah rangkap jabatan yang dilakukan oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir yang juga merupakan Komisaris Utama PT Kimia Farma milik BUMN. Dalam konteks tersebut Laola menyampaikan bahwa alih-alih mencegah keberlanjutan kejadian tersebut, pemerintah justru memberikan justifikasi atau pembenaran bahwa rangkap jabatan dapat dilakukan.
"Bukan tidak mungkin kemudian ada konflik kepentingan gitu ya muncul disitu," ujar Laola.
ICW juga menyoroti terkait masalah pendataan dan distribusi bantuan sosial (bansos) yang berujung pada kasus korupsi bansos. Dewi menilai penindakan kasus korupsi bansos masih dilakukan setengah hati karena Jaksa KPK hanya menuntut mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara sebelas tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara.
Padahal dalam pasal 12 huruf (b) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK dapat menuntut hukuman maksimal 20 tahun penjara. Bahkan dua anggota DPR yang dikabarkan terlibat dalam kasus tersebut justru tidak muncul dalam dakwaan Juliari. KPK kemudian dinilai tidak serius dalam membongkar kasus korupsi bansos Covid-19 dan justru M. Praswad Nugraha selaku penyidik kasus tersebut dipecat KPK karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).