Pemerintah berharap agar revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) dapat dibahas secara paralel pada kesempatan pertama masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2022.
Menteri Hukum dan Ham, Yasonna Laoly mengatakan pemerintah segera menyiapkan rencana revisi UU Cipta Kerja sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, Yasonna mengatakan pemerintah mendorong agar DPR mengajukan revisi UU PPP untuk dimasukan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2022.
"Pemerintah akan berkomitmen untuk bersinergi dengan DPR untuk membahas RUU perubahan UU nomor 12 tahun 2011 seefektif mungkin. Demikian pula, kami mohon kesedian DPR untuk bersinergi dalam pembahasan perubahan UU nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, sebagaimana perintah MK, " ujar Yasonna dalam Rapat Kerja dengan Badan Legislasi (Baleg DPR) terkait Prolegnas Prioritas tahun 2022.
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan revisi UU PPP akan membahas terkait penyerapan aspirasi dan mengenai metodologi dari omnibus law yang belum dikenal dalam hukum di Indonesia. Sejauh ini Pemerintah dan DPR juga telah berkomunikasi terkait beberapa hal tentang UU PPP.
Hal ini karena UU PPP menjadi konsekuensi logis dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat formil.
Pemerintah dan DPR kini tengah mengkomunikasikan apakah revisi merupakan hak inisiatif pemerintah atau DPR. Proses omnibus law disebut membutuhkan waktu dan intensitas karena saling menghubungkan antara satu UU dengan yang lainnya. Kemudian terdapat beberapa UU yang akan diterapkan dengan metode omnibus law yaitu terkait dengan sektor keuangan dan sektor kesehatan.
Lebih lanjut, Willy mengatakan penyusunan omnibus law membutuhkan waktu dan intensitas yang tinggi. Terkait target rampungnya revisi UU Cipta Kerja dan UU PPP, Willy mengatakan hal ini akan dibicarakan karena menjadi prioritas utama.
"Ada beberapa hal yang kita komunikasikan apakah ini akan menjadi hak inisiatif pemerintah lagi atau DPR. Ada kelebihannya kalo itu diinisiasi oleh DPR, DIM (Daftar Inventaris Masalah)-nya cuma satu," ujar Willy kepada wartawan di kompleks parlemen pada Senin (6/12).
MK menyebut UU Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK mengacu pada UU PPP. Secara garis besar, prosedur pembentukan UU mencakup lima tahapan; pengajuan rancangan, pembahasan bersama DPR dan pemerintah, persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan.
Salah satu dalil pemohon yang dipertimbangkan MK terkait dengan ketidakjelasan apakah UU Cipta Kerja berupa UU baru, UU Perubahan, atau UU pencabutan. Majelis Hakim menyebut substansi terbesar dalam UU Cipta Kerja merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang. Setidaknya ada 77 undang-undang perubahan dan 1 UU pencabutan yang termaktub dalam UU Cipta Kerja.
Jika Mengacu pada UU PPP, baik UU perubahan maupun UU pencabutan tidak harus disertai kata ‘perubahan’ dan ‘pencabutan’. Inilah yang tidak ada di judul UU Cipta Kerja sehingga dianggap tidak memenuhi standar baku.
“UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru,” tulis Majelis Hakim.