Ahli Tata Kota Kritik Minimnya Narasi Negara Maritim di Ibu Kota Baru

Sekretariat Presiden/Youtube
Ilustrasi desain Ibu kota baru
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Yuliawati
27/1/2022, 08.14 WIB

Pemindahan Ibu Kota Negara merupakan proyek besar yang perlu dikerjakan dengan berhati-hati. Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Andy Simarmata menyoroti minimnya narasi besar Indonesia sebagai negara maritim dalam pembahasan pemindahan ibu kota baru ke kawasan Kalimantan Timur.  

Andy mengingatkan, Indonesia memiliki mimpi besar untuk menjadi negara maritim terbesar di dunia. Namun, pemerintah tidak terlalu banyak mengulas narasi negara maritim tersebut dalam rencana pembangunan ibu kota baru.

Narasi besar seperti mimpi negara maritim terbesar itu seharusnya terlihat dalam proses perencanaan. "Narasinya kita mau menjadi negara maritim terbesar di dunia. Kesinambungan (narasi itu) hanya akan terjadi bila ada satu dapur perencanaan," ujar Andy dalam diskusi virtual pada Rabu (26/1).

Proses pemindahan Ibu Kota tidak bisa dilakukan terburu-buru. Andy menyebut pembangunan Ibu Kota baru merupakan suatu proses kolektivitas yang tidak hanya melibatkan profesional, tetapi juga masyarakat adat hingga masyarakat desa. "Semua elemen tersebut harus menjadi bagian aktif dari proses perencanaan pembangunan IKN," kata dia.

Selama persiapan pemindahan ibu kota baru, kata Andy, pemerintah lebih banyak membahas narasi membangun kota baru. "Akhirnya yang dipikirkan berapa rumah di sana, kantor saya di mana. Bukan narasi bagaimana agar kolektifitas bangsa ini kemudian bisa mendukung pembangunan ini," ujar Andy.

Ketua Green Building Council Indonesia (GBCI) Iwan Prijanto mengatakan saat ini sedang tren konsep pembangunan kota hijau dengan prinsip "build more with less".  

"Tren dunia sekarang bukan menjadi lebih megah lebih mewah, lebih besar atau lebih mahal dan sebagainya, tapi "build more with less"," kata Iwan.

Tren pembangunan kota tersebut muncul sejak pandemi dan semakin menggema setelah perhelatan COP 26 di Glasgow.  Iwan menilai seharusnya pembangunan ibu kota baru juga mencerminkan tren tersebut.

"Menurut kami model wajah Indonesia di masa depan yang pantas di ketengahkan dalam kancah dunia artinya yang harus selaras dengan global trends," kata Iwan.  

Beberapa negara di Eropa sudah mempraktekannya dengan tren bersepeda yang meningkat. Indonesia era masa lalu pun mencerminkan kota hijau, yakni Batavia/Jakarta pada 1940an dan Yogyakarta pada 1960an-1970an.  "Yogjakarta saat itu terjaga baik populasinya, terjaga kotanya dipenuhi oleh sepeda dan kualitas udaranya bagus, slow moving tapi UKM bisa berkembang dengan baik," kata dia.

Reporter: Nuhansa Mikrefin