Tatkala Perempuan Berambisi Justru Dianggap Tabu

Katadata
WLF_Breaking the Glass Ceilling
8/3/2022, 16.59 WIB

Ambisi, seolah menjadi kata yang dilarang bagi perempuan. Tak sedikit perempuan yang berambisi mencapai, melakukan, atau merealisasikan suatu cita justru menerima bumerang. Alih-alih mendapat dukungan untuk mewujudkan cita mereka, itu justru dianggap tabu.

Chief Marketing Officer Investree Astranivari adalah salah satu perempuan yang enggan menyerah kepada sitgma semacam itu. Alhasil, perempuan berkerudung ini membuktikan cita-citanya dalam berkarir, kini menjabat level C.

“Saya cukup ambisius sebagai perempuan. Kalau sudah berkeinginan, saya akan mencoba sekuat tenaga. Tidak ada yang tidak mungkin dicapai dan dilakukan jika kita (perempuan) mau,” katanya dalam sesi webinar Women Leaders Forum bertajuk “Breaking the Glass Ceiling”, Selasa (8/3/2022).

Stigma atas ambisi maupun cita-cita bagi seorang perempuan merupakan salah satu bentuk glass ceiling. Ini adalah konsep yang menjelaskan hambatan tak terlihat yang membatasi perempuan menempati posisi tertinggi sebuah organisasi.

Kendati para puan memiliki visi jelas untuk mengembangkan karirnya tetapi mereka kerap sulit mencapai target itu, dan berhenti di jabatan level menengah. Padahal, pada era modern ini, idealnya bukan hal tabu bagi perempuan untuk menempati posisi-posisi strategis manajerial di sektor publik maupun swasta. Ini selaras dengan kesadaran masyarakat atas kesetaraan gender yang menguat.

Namun, realitanya tetap banyak kaum hawa yang menghadapi tantangan bahkan diskriminasi. Data statistik global per 2019, dari survei International Labour Organization (ILO), menyebutkan bahwa 52 persen responden perempuan setuju mereka alami kesulitan besar untuk mencapai puncak manajemen.

Fenomena glass ceiling menyadarkan kita betapa penting bagi seorang perempuan menjadi resilien dan memiliki kematangan pola pikir. “Tak ada yang tidak bisa kita lakukan kalau kita mau. Bagi perempuan di luar sana, jangan biarkan orang lain mendeterminasi nasib kita,” tuturnya.

Adapun, dari 271,58 juta penduduk Indonesia hampir separuh adalah perempuan atau setara 135,24 juta jiwa (49,8 persen). Data-data lain menunjukkan betapa perempuan di Tanah Air terus tertinggal dari laki-laki. Di lapangan pekerjaan, tingkat partisipasi perempuan Indonesia pada 2020 hanya 53,13 persen, sedangkan laki-laki 82,41 persen. Angka ini relatif tak banyak berubah dalam dua dekade terakhir.

Walaupun persentasenya terus naik, mengutip hasil Survei Angkatan Kerja Nasional pada 2020, porsi perempuan yang menduduki posisi manajerial di perusahaan hanya 33 persen. Bahkan, di pemerintahan hanya 16,6 persen pejabat eselon I yang diisi perempuan. Turun dari posisi pada 2016 sebesar 17,98 persen.

Astranivari mengutarakan lebih jauh bahwa ada banyak apsek yang memengaruhi resiliensi seorang perempuan, khususnya di dunia kerja. Lingkungan adalah salah satunya. Faktor ini bisa menjatuhkan tetapi juga dapat menjadi sumber penguatan jika di dalamnya tersedia sistem dukungan yang tepat.

Direktur Eksekutif IBCWE Maya Juwita turut mengutarakan pendapatnya bahwa glass ceiling tentang perempuan berambisi ada benarnya. “Memang, sebagian perempuan bahkan terus menganut nilai-nilai konservatif bahwa mereka tidak boleh terlihat ambisius. Kalau punya ambisi akan dihakimi,” ujarnya.

Glass ceiling yang terus ada saat ini memang dilatarbelakangi berbagai faktor, seperti peran gender di mana perempuan dinilai memiliki keharusan mengurus ranah domestik rumah tangga. Kemudian, faktor bias gender pada para perekrut talent yang cenderung memilih laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hingga, budaya patriarki di masyarakat yang beranggapan laki-laki yang selayaknya menjadi pemimpin, bukan perempuan. 

Maya berpendapat, mengubah realita ketimpangan gender memang sulit. Tapi, bukan berarti tidak ada yang bisa diupayaka. “Strategi untuk menembus glass ceiling dengan membawa kesetaraan gender di dunia kerja ke dalam tataran ekonomi. Bahwa, ada keuntungan bisnis jika menjalankan kesetaraan gender,” kata dia.