Pasca-penandatanganan perjanjian Paris 2015 tentang antisipasi perubahan iklim, tekanan mengimplementasikan bisnis kebelanjutan di Indonesia semakin menguat. Tak terkecuali di sektor bisnis komoditas pertanian dan kehutanan atau lahan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indroyono Soesilo mengatakan, APHI memegang tiga aturan dalam mewujudkan pembangunan sektor kehutanan yang memiliki daya saing dan tetap berkelanjutan.
Aturan yang dia maksud adalah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Lalu, UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Dari situ kita mengetahui dunia industri kehutanan menuju multi-usaha kehutanan. Kita juga melihat sekarang ini semua kaitannya sudah kepada keberlanjutan," kata Indroyono dalam webinar Indonesia Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2022 dengan tema 'Soft Commodities: Road To Sustainablity', Kamis (7/4/2022).
Luas wilayah terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia mengalami penurunan hingga 78 persen dari tahun 2019 sampai 2021. Tren penurunan juga terjadi pada kasus kebakaran lahan gambut dari tahun 2016 sampai 2021 sebesar 92 persen.
Berdasarkan hasil rekapitulasi monitoring data Sipongi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah yang mengalami penurunan itu meliputi enam provinsi masing-masing Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Indroyono mengungkapkan, saat ini Indonesia sudah berhasil menurunkan kebakaran lahan hutan hingga 80 persen. Selain itu, Indonesia juga sudah berhasil menurunkan deforestasi sejak 10 tahun terakhir. Tahun lalu, angka deforestasi di Tanah Air hanya 100 ribu hektare.
Saat ini, para pengusaha kehutanan sedang mendorong pasar secara berkelanjutan. Hasilnya, ekspor industri kehutanan Indonesia pada 2021 mencapai US$13,5 miliar. Capaian tersebut baru pertama kali dan menjadi yang tertinggi sepanjang masa.
Setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, para pengusaha di sektor kehutanan menunggu aturan turunannya.
"Kita tunggu regulasi di bawahnya, peraturan-peraturan menterinya, sehingga nanti program-program penurunan emisi dari sektor-sektor non-pemerintah, salah satunya kehutanan, semakin jelas," kata dia.
Managing Director, PT Triputra Agro Persada (TAP) Group, Sutedjo Halim mengatakan, perusahaannya komitmen menjalankan bisnis secara berkelanjutan dengan benar serta bisa diuji dan diakui secara nasional maupun internasional.
Kata dia, TAP Group menekankan penyerapan karbon dari kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) dan kawasan stok karbon tinggi (high carbon stock/HCS). TAP Group juga membangun biodiesel di Kalimantan Timur.
"Dua pekan lalu kami mendapatkan anugerah penghargaan sebagai konservasi tertinggi 2022," kata Sutedjo.
Ia berharap, capaian baik berkaitan dengan keberlanjutan yang diperoleh perusahaannya, dapat dicontoh oleh perusahaan pengebun lainnya. Sebab, kata dia, berkebun bukan saja memikirkan hasil untuk diri sendiri, namun juga untuk masa depan, khususnya untuk lingkungan di sekitar.
Sutedjo mengungkapkan, perusahaannya memilki peta jalan kenetralan karbon yang digelar dan dijalankan sejak tiga tahun terakhir. Peta jalan tersebut didorong melalui Desa Makmur Peduli Api. PT TAP Group memberikan penghargaan bagi desa-desa hingga pemangku kepentingan untuk tidak membakar hutan.
"Kita juga memberikan kompensasi untuk perkembangan perekonomian di sekitar lahan perusahaan," kata dia.
Selain itu, lanjutnya, TAP Group juga menggunakan alternatif-alternatif energi yang dikembangkan mulai dari biomassa dan biogas. Saat ini, TAP Group sedang merancang Biomethane Compressed Natural Gas (Bio-CNG) sebagai pengganti energi fosil. Ini adalah gas metan yang diubah menjadi liquid gas.
"Ini adalah alternatif-alternatif yang kami coba dorong untuk menurunkan atau memitigasi terhadap emisi gas rumah kaca," tegasnya.
Sementara itu, President Director, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk, Lucas Kurniawan mengatakan, dalam mendukung keberlanjutan usaha, dasar paling penting adalah mengupayakan agar perusahaannya memperoleh sertifikasi dari badan-badan yang diakui. Ia bersyukur, pada 2021 seluruh pabrik kelapa sawit milik ANJ sudah mendapatkan sertifikasi.
"Terakhir pabrik kelapa sawit kita di Papua Barat," kata Lucas.
Menurutnya, sertifikasi sangat penting, bukan hanya mengundang kepercayaan bagi pembeli minyak sawit ANJ, tetapi juga memberikan panduan bagi perusahaan mengenai kerangka kerja yang harus diperhatikan di dalam menjalankan praktik-praktik berkelanjutan.
"Kemudian dari sertifikasi itu, kita juga menyusun dan mengomunikasikan kerangka kerja keberlanjutan kita," ujarnya.