Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) baru saja disahkan pada Selasa (12/4) kemarin. Walaupun baru saja disahkan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan sepuluh kritik terhadap UU TPKS.
Menurut pengacara publik LBH Jakarta Citra Referandum, UU TPKS kurang tegas mengatur jaminan tindak pidana tidak akan berulang kembali, sebagai asas undang-undang.
“Absennya asas ini berdampak pada kualitas beragam upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual," ujar Citra dalam keterangan tertulis pada Rabu (13/4).
Selain itu absennya pengaturan mengenai tindak pidana pemaksaan aborsi. Berdasarkan laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 17 LBH se-Indonesia, dan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sedikitnya telah ada 16 korban yang melaporkan mengalami pemaksaan aborsi pada 2020. Untuk itu, ia menekankan pentingya regulasi yang mengatur supaya tidak mempidanakan korban pemaksaan aborsi akibat kedaruratan medis atau kehamilan akibat kekerasan seksual.
Ketiga, tidak adanya definisi mengenai beberapa tindak pidana, yaitu pemerkosaan, pemerkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran. Hal ini berpotensi menciptakan multitafsir dalam implementasinya.
“Berpotensi menimbulkan disparitas pemahaman atau multitafsir dalam level implementasi,” kata Citra.
Selanjutnya, UU TPKS menurutnya belum mengakomodir sepenuhnya hak korban terkait penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Termasuk hak korban dalam penanganan kasus, yang meliputi kemudahan akses layanan pengaduan, menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas, memperoleh izin meninggalkan pekerjaan dengan tetap memperoleh upah penuh, terbebas dari pertanyaan yang menjerat, serta hak untuk tidak didiskriminasi.
Kemudian hak korban dalam perlindungan yang meliputi pemberdayaan hukum, layanan rumah aman, dan hak untuk mendapatkan informasi.
Sementara terkait dengan pemulihan, terdiri dari pemulihan sosial budaya dan politik.
Menurut Citra, UU TPKS belum memberikan jaminan secara rinci mengenai kebutuhan korban, seperti kebutuhan dasar yang layak, layanan keterampilan, modal usaha, kemudahan akses mendapat pekerjaan layak, dan kemudahan pemulihan kepemilikan harta benda. Meski sudah mengatur pemulihan secara fisik, psikologi, dan ekonomi,
Ketujuh, belum termaktubnya hak-hak keluarga korban yang meliputi tempat tinggal sementara, pemberdayaan ekonomi keluarga dan perlindungan sosial, pendampingan keluarga, dukungan akomodasi dan transportasi, serta hak untuk mendapatkan kesetaraan tanpa diskriminasi.
Selanjutnya, informasi tentang hak dan kewajiban untuk saksi, mendapatkan kerahasiaan identitas, memperoleh surat pemanggilan yang pantas, fasilitas dan biaya transportasi, termasuk akomodasi selama memberikan keterangan dalam proses peradilan, layanan psikolog, layanan bantuan hukum, serta layanan rumah aman.
LBH Jakarta juga menilai aturan mengenai upaya pencegahan dalam TPKS masih kurang karena belum mencakup penyebar luasan informasi penghapusan kekerasan seksual, penyediaan program dan anggaran untuk pencegahan, pengadaan kebijakan untuk menghapus kekerasan seksual bagi lembaga negara, serta komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat perekrutan pejabat publik.
Selain itu, belum memasukkan penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan, dan pengadaan sistem data dan informasi kekerasan seksual yang terintegrasi.
Terakhir, belum diaturnya larangan bagi aparat penegak hukum untuk tidak menggunakan pertimbangan gender, kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional yang mengandung muatan diskriminasi terhadap korban.
Tak hanya catatan kekurangan, LBH Jakarta juga memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah dalam implementasi UU TPKS.
Hal ini mencakup memperkuat budaya hukum aparat penegak hukum agar menggunakan perspektif korban dan gender dalam setiap tahapan proses peradilan pidana, memperkuat mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum demi keadilan dan transparansi bagi korban, serta melengkapi infrastruktur yang memadai sesuai kebutuhan korban.
Selanjutnya, memprioritaskan agenda pendidikan publik dan kampanye untuk menciptakan ruang aman dalam kehidupan masyarakat, juga membentuk peraturan pelaksana yang menguatkan implementasi UU TPKS dengan keterlibatan seluruh elemen, baik korban, penyintas, dan masyarakat sipil.
“Seluruh elemen masyarakat harus tetap mengawal agar undang-undang ini dapat diimplementasikan sesuai cita-cita keadilan yang diharapkan korban dan penyintas kekerasan seksual,” kata Citra Referandum.